Pages

Jumat, 21 Maret 2014

Perkembangan Moral



a.  Pengertian Moral

                        Moral adalah standar umum yang dimiliki seseorang mengenai perilaku yang dianggap benar dan salah (Jeanne Ellis Ormrod : 2008 : 102). Sehingga perkembangan  moral merupakan perkembangan yang berhubungan dengan aturan dan konvensi dari interaksi yang adil antar orang (John W. Santrock : 2007 : 116). Moral sangat berkaitan dengan perilaku prososial, perilaku sosial yakni perilaku yang ditujukan untuk memberi manfaat bagi orang lain lebih dari diri sendiri. Perilaku prososial apabila ditambahi dengan kejujuran, keadilan, dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebutuhan orang lain masuk dalam ranah moralitas.
                 Keyakinan siswa mengenai perilaku bermoral dan tidak bermoral yaitu keyakinan mengenai mana yang benar dan mana yang salah mempengaruhi perilaku mereka di sekolah maupun di rumah. Para siswa yang berpikir dan bertindak secara bermoral dan prososial memperoleh dukungan lebih besar dari guru-guru dan teman-teman mereka dan, sebagai hasilnya , dalam jangka panjang meraih keberhasilan akademis dan sosial semakin besar ( Caprara, Barbaranelli, Pastorelli, Bandura & Zimbardo , 2000).
                        Pendidik memainkan peran penting dalam pengembangan moral dan prososial para siswa. Seorang pendidik harus selalu memerhatikan dan mengarahkan siswanya untuk bertindak secara prososial kepada sesama temannya seperti bila terjadi pertengkaran , perbedaan pendapat , maupun kedatangan teman baru. Apabila pendidik mengabaikan tindakan-tindakan egois dan agresi yang dilakukan siswa, mungkin dengan alasan pembenar bahwa siswa seharusnya dibiarkan menyelesaikan masalah yang terjadi diantara mereka. Pendidik tersebut hampir tidak membantu meningkatkan perkembangan moral dan sosial siswanya , dan siswa akan berpresepsi bahwa perilaku mereka tersebut benar ( Nucci, 2001).
             
           
b.  Teori Perkembangan Moral
              Ada sejumlah teori tentang perkembangan moral. Tetapi terdapat dua tokoh yang sangat berpengaruh terhadap teori perkembangan moral saat ini ,  yaitu antara lain :
a.       Teori perkembangan moral Jean Piaget
Piaget (1932) membagi  teorinya menjadi dua tahap , antara lain :
1.      Heteronomous morality
Adalah tahap pertama perkembangan moral yang terjadi sekitar usia empat sampai tujuh tahun , dimana keadilan dan aturan dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa  diubah , diluar kontrol manusia (John W. Santrock : 2007 : 118). Pemikir heteronomous percaya pada keadilan yang imanen (selalu ada), yakni konsep bahwa jika satu aturan dilanggar, maka hukuman akan segera dijatuhkan. Anak kecil percaya bahwa pelanggaran secara otomatis akan menyebabkan jatuhnya hukuman. Mereka sering kali tampat takut setelah melanggar suatu aturan, bersiap-siap menghadapi hukuman.
2.      Autonomious morality
Adalah tahap perkembangan moral kedua , yang tercapai pada usia 10 tahun atau lebih. Pada tahap ini , anak mulai mengetahui bahwa aturan dan hukum adalah buatan manusia dan dalam menilai suatu perbuatan , niat pelaku dan konsekuensinya harus dipikirkan.
                  Sedangkan anak usia tujuh tahun sampai sepuluh tahun berada dalam masa transisi diantara kedua tahapan tersebut dan karenanya mereka menunjukkan ciri-ciri dari kedua tahap tersebut.
      Piaget mengatakan bahwa perkembangan moral terutama berlangsung melalui hubungan timbal balik dengan rekan seusia. Menurut piaget, orang tua tidak terlalu memainkan peran yang penting dalam perkembangan moral anak karena mereka punya kekuasaan yang lebih besar ketimbang anak dan menentukan aturan secara otoriter.
b.      Teori perkembangan moral Lawrence Kohlberg
            Kohlberg menyusun teori perkembangan moral yang terdiri dari tiga level dengan dua tahap pada setiap level. Konsep penting untuk memahami teori ini adalah internalisasi , yang berarti perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal (John W. Santrock : 2001 : 371).   

Berkut ini adalah tiga level dan enam tahap perkembangan moral Kohlberg (Jeanne Ellis Ormrod : 2008 : 138 ).
Level
Rentang Usia
Tahap
Esensi Penalaran Moral
Prakonvensional
Anak-anak prasekolah, sebagian besar anak SD, sejumlah siswa SMP, dan segelintir siswa SMA
Hukuman Penghindaran dan kepatuhan
Orang membuat keputusan berdasarkan apa yang terbaik bagi mereka, tanpa mempertimbangkan kebutuhan atau perasaan orang lain. Orang mematuhi peraturan hanya jika peraturan tersebut dibuat oleh orang-orang yang lebih berkuasa, dan mereka mungkin melanggarnya apabila tidak ketahuan orang lain.
Saling memberi dan menerima
Orang memahami bahwa orang lain juga memiliki kebutuhan. Mereka mungkin mencoba memuaskan kebutuhan orang lain apabila kebutuhan mereka sendiri terpenuhi melalui perbuatan tersebut.
Konvensional
Siswa SD tingkat akhir, sejumlah siswa SMP, dan banyak siswa SMU
Anak baik
Orang membuat keputusan melakukan tindakan tertentu semata-mata untuk menyenangkan orang lain, terutama tokoh-tokoh yang memiliki otoritas. Mereka sangat peduli pada terjaganya hubungan persahabatan melaui sgaring.
Hukum dan tata tertib
Orang memandang masyarakat sebagai suatu kesatuan yang utuh yang menyediakan pedoman bagi perilaku. Mereka memahami bahwa peraturan itu penting untuk menjamin berjalan harmonisnya kehidupan bersama , meyakini bahwa tugas mereka dalah mematuhi aturan-aturan tersebut.
Pascakonvensional
Jarang muncul sebelum masa kuliah
Kontrak sosial
Orang memahami bahwa peraturan-peraturan yang ada merupakan representasi dari persetujuan banyak individu mengenai perilaku yang dianggap tepat. Peraturan dipandang sebagai mekanisme yang bermanfaat untuk memelihara keteraturan sosial dan melindungi hak-hak individu, alih-alih sebagai perintah yang bersifat mutlak yang harus dipatuhi semata-mata karena merupakan hukum.
Prinsip etika unversal
Orang-orang setia dan taat pada beberapa prinsip abstrak dan universal misalnya kesetaraan semua orang , penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia, komitmen pada keadilan yang melampaui norma-norma dan peraturan-peraturan yang spesifik. Mereka sangat mengikuti hati nurani dan karena itu bisa saja melawan peraturan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip etis mereka sendiri.

            Seiring bertambahnya usia , anak-anak muda semakin mampu menerapkan standar-standar yang lebih tinggi (advanced). Meski demikian , terkadang standar yang tergolong cukup primitif seperti memuaskan kebutuhan sendiri tanpa memberikan kebutuhan orang lain terkadang menjadi prioritas (Rest et. Al., 1999 : Turiel, 1998 ).

c.  Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral
1.      Perkembangan kognitif umum
Anak-anak yang secara intelektual (gifted) berbakat umunya lebih sering berpikir tentang isu moral dan bekerja keras mengatasi ketidakadilan di masyarakat lokal ataupun dunia secara umum ketimbang teman-teman sebayanya (Silverman, 1994). Meski demikian, perkembangan kognitif tidak menjamin perkembangan moral. Terkadang siswa berpikir abstrak mengenai materi akademis dan pada saat yang sama bernalar secara prakonvensional, yang berpusat pada diri sendiri (Kohlberg, 1976 : Silverman, 1994).
2.      Penggunaan Ratio dan Rationale
Sebagai seorang pendidik dan orangtua harus memberikan induksi kepada anak-anak ketika mereka memikirkan kerugian fisik dan emosional yang ditimbulkan perilaku-perilaku tertentu terhadap orang lain. Induksi adalah penjelasan mengenai mengapa perilaku tertentu tidak dapat diterima , seringkali dengan fokus pertimbangan pada rasa sakit atau kesuasahan yang ditimbulkan oleh perilaku itu terhadap orang lain (M.L. Hoffman, 1970, 1975). Penggunaan induksi secara konsisten pada anak-anak misalnya menegaskan bahwa mereka harus minta maaf pada perilaku yang keliru , dapat mendorong kepatuhan terhadap peraturan dan meningkatkan perkembangan empati, bela rasa , dan altruisme (Nucci, 2001).
3.      Isu dan dilema moral
Kohlberg menyatakan bahwa anak-anak berkembang secara moral ketika mereka  menghadapi suatu dilema moral yang tidak dapat ditangani secara memadai dengan menggunakan tingkat penalaran moralnya saat itu. Dalam upaya membantu anak-anak menghadapi dilema semacam itu, kohlberg menyarankan agar guru menawarkan penalaran moral satu tahap diatas tahap yang dimiliki anak pada saat itu. Penalaran moral anak-anak tidak semata-mata dihasilkan oleh pewarisan nilai dan ajaran moral yang dilakukan oleh orang dewasa ( doman, 1988 : Higgins, 1995 : Turiel, 1998), Melainkan muncul dari kepercayaan-kepercayaan yang dikonstruksi secara personal oleh anak itu sendiri, kepercayaan-kepercayaan yang seringkali ditinjau ulang, direvisi, dan akhirnya diperbaiki oleh mereka seiring waktu.

4.      Perasaan diri
Anak-anak muda mulai mengintegrasikan komitmen terhadap nilai-nilai moral ke dalam indentitas  mereka secara keseluruhan ( Nucci, 2001 ). Mereka menganggap diri mereka sebagai pribadi yang penuh perhatian , yang peduli pada hak-hak dan kebaikan orang lain. Dalam sebuah penelitian ( D. Hart & Fregley , 1995) bahwa para remaja tidak selalu menampilkan penalaran moral yang lebih maju dibandingkan dengan teman-teman sebaya mereka , tetapi mereka lebih sering menggambarkan diri mereka dalam kerangka trait dan tujuan moral (sepeti menolong orang lain) dan menyebutkan ideal-ideal tertentu yang menjadi arah usaha dan kerja keras mereka.

d.                   Pendidikan Moral   
1.      Kurikulum tersembunyi
            Adalah Konsep Dewey (1933)  bahwa setiap sekolah punya atmosfer moral tersendiri meski sekolah itu tidak memberikan pelajaran tentang pendidikan moral. Suasana atau atmosfer moral ini diciptakan oleh aturan sekolah dan aturan kelas, orientasi moral dari guru dan administrator sekolah, dan teks materi pelajaran. Guru bertindak sebagai model perilaku etis dan tak etis. Aturan kelas dan hubungan teman sebaya disekolah berfungsi sebagai alat penyebar sikap terhadap penipuan, bohong, pencurian, dan sebagainya. Melalui aturan dan regulasi , administrasi sekolah memasukkan sistem nilai ke sekolah.
2.      Pendidikan Karakter
            Adalah pendekatan langsung untuk pendidikan moral dengan memberi pelajaran kepada murid tentang pengetahuan moral dasar untuk mencegah mereka melakukan perilaku tidak bermoral atau membahayakan diri sendiri dan orang lain. Bahwa perilaku seperti berbohong, mencuri dan menipu adalah keliru dan murid harus diajari soal ini melalui pendidikan mereka (Nucci, 2001). Menurut pendekatan pendidikan karakter , setiap sekolah harus punya aturan moral yang jelas yang dikomunikasikan dengan jelas kepada murid, setiap pelanggaran aturan harus dikenai sanksi ( Bennet, 1993).



3.      Klarifikasi nilai
            Adalah pendekatan untuk pendidikan moral yang menekankan pada upaya membantu orang untuk mengklarifikasi untuk apa hidup mereka dan apa yang layak untuk dikerjakan dalam hidup ini, murid didorong untuk mendefinisikan sendiri nilai mereka dan memahami nilai diri orang lain.
            Contohnya , murid diminta untuk memilih emam dari sepuluh orang yang akan dimasukkan ke tempat berlindung karena perang dunia ketiga telah dimulai (Johnson, 1990). Dan orang-orang yang harus mereka pilih antara lain pria penjual buku berusia 30 tahun, istri penjual buku yang hamil 6 bulan, Mahasiswa kedokteran yang merupakan aktivis politik, pria berumur 42 tahun yang dikenal sebagai penulis sejarah, Aktris hollywood yang terkenal sebagai penyanyi, perempuan ahli biokomia, Seorang Rabbi pria berusia 54 tahun, Atlet olimpiade pria yang bagus dalam semua cabang, Mahasiswi perguruan tinggi, dan polisi yang punya pistol.   
            Dalam tipe ini, tak ada jawaban yang benar dan salah, semua ditentukan oleh murid atau pendekatan ini bebas nilai. Namun sebagian orang mengatakan bahwa klarifikasi nilai melemahkan nilai yang diterima dan tidak bisa menekankan pada perilaku yang benar.
4.      Pendidikan moral kognitif
            Adalah pendekatan pendidikan moral yang didasarkan pada keyakinan bahwa murid harus mempelajari hal-hal seperti demokrasi, dan keadilan  saat moral mereka sedang berkembang. Menurut Kohlberg (1986) pada suatu waktu murid harus dikumpulkan untuk mendiskusikan sejumlah isu moral, pengajar bertindak sebagai fasilitator, bukan pengatur kelas. Harapnnya adalah agar murid dapat mengembangkan gagasan yang lebih maju seperti konsep kerjasama, kepercayaan, tanggungjawab, dan komunitas.  Dan dalam upaya menolong para siswa menyelesaikan konflik-konflik dengan teman sebayanya, pendidik dapat mendorong siswa untuk mengkaji situasi-situasi dari sudut pandang teman-temannya dan bekerja secara kooperatif ke arah solusi yang adil.
5.      Melibatkan siswa untuk aktif dalam pelayanan masyarakat
            Siswa lebih cenderung setia dan taat terhadap prinsip-prinsip moral yang kuat ketika mereka memiliki efikasi diri yang tinggi untuk menolong orang lain dan ketika mereka telah mengintegrasikan suatu komitmen terhadap ideal-ideal moral terhadap perasaan identitasnya (sense of identity) secara keseluruhan. Tentu saja , presepsi diri semacam itu tidak muncul begitu saja. Anak-anak lebih cenderung memiliki efikasi diri yang tinggi untuk melakukan aktivitas-aktivitas prososial bila mereka mendapatkan bimbingan dan dukungan yang mereka perlukan demi keberhasilan-keberhasilan itu. Mereka juga cenderung mengintegrasikan nilai-nilai moral ke dalam perasaan diri (sense of self) mereka secara keseluruhan bila mereka terlibat secara aktif dalam pelayanan kepada orang lain bahkan sebelum mereka memasuki masa pubertas (Nucci, 2001 : Younnis & yates, 1999). Melalui aktivitas pelayanan masyarakat yang berkelanjutan disebut service learning, yakni aktivitas yang mendorong pembelajaran dan perkembangan dengan berkontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup sesama dan masyarakat. Para siswa belajar bahwa mereka memiliki keterampilan dan tanggung jawab memvantu orang-orang yang kurang beruntung dibandingkan diri mereka, dan begitu ikutserta menjadikan dunia tempat yang lebih baik untuk hidup. Dalam prosesnya, mereka juga mulai membayangkan diri mereka sebagai warga negara yang peduli, berbela rasa, dan bermoral (Younnis & Yates, 1999).

Daftar  Pustaka :

Santrock, John W. 2007. Psikologi Pendidikan edisi kedua.  Jakarta : Kencana
Ormrod, Jeanne Ellis. 2008. Psikologi Pendidikan Jilid 1 edisi keenam. Jakarta : Erlangga
Santrock, John W. 2001. Life-Span Development Jilid 1 edisi kelima. Jakarta : Erlangga
Santrock, John W. 2001. Life-Span Development Jilid 2 edisi kelima. Jakarta : Erlangga
Wade, Carol & Carol Tavris. 2007. Psikologi edisi kesembilan. Jakarta : Erlangga       
Shobur, Alex. 2003. Psikologi Umum. Jakarta : Pustaka Setia
Ratna Yudhawati & Dany Haryanto. 2001. Teori – teori Dasar Psikologi Pendidikan. Jakarta : Prestasi Pustaka
Nursalim, dkk . Psikologi Pendidikan. Surabaya : Unesa Press
Alwisol. 2007. Psikologi Kepribadian. Malang : UMM press
 



0 komentar:

Posting Komentar