a. Pengertian Moral
Moral
adalah standar umum yang dimiliki seseorang mengenai perilaku yang dianggap
benar dan salah (Jeanne Ellis Ormrod : 2008 : 102). Sehingga perkembangan moral merupakan perkembangan yang berhubungan
dengan aturan dan konvensi dari interaksi yang adil antar orang (John W.
Santrock : 2007 : 116). Moral sangat berkaitan dengan perilaku prososial, perilaku
sosial yakni perilaku yang ditujukan untuk memberi manfaat bagi orang lain
lebih dari diri sendiri. Perilaku prososial apabila ditambahi dengan kejujuran,
keadilan, dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebutuhan orang lain masuk
dalam ranah moralitas.
Keyakinan siswa mengenai perilaku
bermoral dan tidak bermoral yaitu keyakinan mengenai mana yang benar dan mana
yang salah mempengaruhi perilaku mereka di sekolah maupun di rumah. Para siswa
yang berpikir dan bertindak secara bermoral dan prososial memperoleh dukungan lebih
besar dari guru-guru dan teman-teman mereka dan, sebagai hasilnya , dalam
jangka panjang meraih keberhasilan akademis dan sosial semakin besar ( Caprara,
Barbaranelli, Pastorelli, Bandura & Zimbardo , 2000).
Pendidik
memainkan peran penting dalam pengembangan moral dan prososial para siswa. Seorang
pendidik harus selalu memerhatikan dan mengarahkan siswanya untuk bertindak
secara prososial kepada sesama temannya seperti bila terjadi pertengkaran ,
perbedaan pendapat , maupun kedatangan teman baru. Apabila pendidik mengabaikan
tindakan-tindakan egois dan agresi yang dilakukan siswa, mungkin dengan alasan
pembenar bahwa siswa seharusnya dibiarkan menyelesaikan masalah yang terjadi
diantara mereka. Pendidik tersebut hampir tidak membantu meningkatkan
perkembangan moral dan sosial siswanya , dan siswa akan berpresepsi bahwa
perilaku mereka tersebut benar ( Nucci, 2001).
b. Teori Perkembangan Moral
Ada sejumlah teori tentang perkembangan
moral. Tetapi terdapat dua tokoh yang sangat berpengaruh terhadap teori
perkembangan moral saat ini , yaitu
antara lain :
a. Teori
perkembangan moral Jean Piaget
Piaget (1932) membagi teorinya menjadi dua tahap , antara lain :
1.
Heteronomous morality
Adalah
tahap pertama perkembangan moral yang terjadi sekitar usia empat sampai tujuh
tahun , dimana keadilan dan aturan dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa diubah , diluar kontrol manusia (John W.
Santrock : 2007 : 118). Pemikir heteronomous percaya pada keadilan yang imanen
(selalu ada), yakni konsep bahwa jika satu aturan dilanggar, maka hukuman akan
segera dijatuhkan. Anak kecil percaya bahwa pelanggaran secara otomatis akan
menyebabkan jatuhnya hukuman. Mereka sering kali tampat takut setelah melanggar
suatu aturan, bersiap-siap menghadapi hukuman.
2.
Autonomious morality
Adalah
tahap perkembangan moral kedua , yang tercapai pada usia 10 tahun atau lebih.
Pada tahap ini , anak mulai mengetahui bahwa aturan dan hukum adalah buatan
manusia dan dalam menilai suatu perbuatan , niat pelaku dan konsekuensinya
harus dipikirkan.
Sedangkan anak usia tujuh
tahun sampai sepuluh tahun berada dalam masa transisi diantara kedua tahapan
tersebut dan karenanya mereka menunjukkan ciri-ciri dari kedua tahap tersebut.
Piaget mengatakan bahwa perkembangan moral
terutama berlangsung melalui hubungan timbal balik dengan rekan seusia. Menurut
piaget, orang tua tidak terlalu memainkan peran yang penting dalam perkembangan
moral anak karena mereka punya kekuasaan yang lebih besar ketimbang anak dan
menentukan aturan secara otoriter.
b. Teori
perkembangan moral Lawrence Kohlberg
Kohlberg
menyusun teori perkembangan moral yang terdiri dari tiga level dengan dua tahap
pada setiap level. Konsep penting untuk memahami teori ini adalah internalisasi
, yang berarti perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara
eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal (John W. Santrock
: 2001 : 371).
Berkut ini adalah tiga level dan enam
tahap perkembangan moral Kohlberg (Jeanne Ellis Ormrod : 2008 : 138 ).
Level
|
Rentang Usia
|
Tahap
|
Esensi
Penalaran Moral
|
Prakonvensional
|
Anak-anak prasekolah, sebagian besar anak SD,
sejumlah siswa SMP, dan segelintir siswa SMA
|
Hukuman Penghindaran
dan kepatuhan
|
Orang
membuat keputusan berdasarkan apa yang terbaik bagi mereka, tanpa
mempertimbangkan kebutuhan atau perasaan orang lain. Orang mematuhi peraturan
hanya jika peraturan tersebut dibuat oleh orang-orang yang lebih berkuasa,
dan mereka mungkin melanggarnya apabila tidak ketahuan orang lain.
|
Saling memberi
dan menerima
|
Orang
memahami bahwa orang lain juga memiliki kebutuhan. Mereka mungkin mencoba
memuaskan kebutuhan orang lain apabila kebutuhan mereka sendiri terpenuhi melalui
perbuatan tersebut.
|
||
Konvensional
|
Siswa SD
tingkat akhir, sejumlah siswa SMP, dan banyak siswa SMU
|
Anak baik
|
Orang
membuat keputusan melakukan tindakan tertentu semata-mata untuk menyenangkan
orang lain, terutama tokoh-tokoh yang memiliki otoritas. Mereka sangat peduli
pada terjaganya hubungan persahabatan melaui sgaring.
|
Hukum dan tata
tertib
|
Orang
memandang masyarakat sebagai suatu kesatuan yang utuh yang menyediakan
pedoman bagi perilaku. Mereka memahami bahwa peraturan itu penting untuk
menjamin berjalan harmonisnya kehidupan bersama , meyakini bahwa tugas mereka
dalah mematuhi aturan-aturan tersebut.
|
||
Pascakonvensional
|
Jarang muncul
sebelum masa kuliah
|
Kontrak sosial
|
Orang
memahami bahwa peraturan-peraturan yang ada merupakan representasi dari
persetujuan banyak individu mengenai perilaku yang dianggap tepat. Peraturan
dipandang sebagai mekanisme yang bermanfaat untuk memelihara keteraturan
sosial dan melindungi hak-hak individu, alih-alih sebagai perintah yang
bersifat mutlak yang harus dipatuhi semata-mata karena merupakan hukum.
|
Prinsip etika
unversal
|
Orang-orang
setia dan taat pada beberapa prinsip abstrak dan universal misalnya
kesetaraan semua orang , penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia,
komitmen pada keadilan yang melampaui norma-norma dan peraturan-peraturan
yang spesifik. Mereka sangat mengikuti hati nurani dan karena itu bisa saja
melawan peraturan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip etis mereka
sendiri.
|
Seiring
bertambahnya usia , anak-anak muda semakin mampu menerapkan standar-standar
yang lebih tinggi (advanced). Meski demikian , terkadang standar yang tergolong
cukup primitif seperti memuaskan kebutuhan sendiri tanpa memberikan kebutuhan
orang lain terkadang menjadi prioritas (Rest et. Al., 1999 : Turiel, 1998 ).
c.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan moral
1.
Perkembangan kognitif umum
Anak-anak
yang secara intelektual (gifted) berbakat umunya lebih sering berpikir tentang
isu moral dan bekerja keras mengatasi ketidakadilan di masyarakat lokal ataupun
dunia secara umum ketimbang teman-teman sebayanya (Silverman, 1994). Meski
demikian, perkembangan kognitif tidak menjamin perkembangan moral. Terkadang
siswa berpikir abstrak mengenai materi akademis dan pada saat yang sama bernalar
secara prakonvensional, yang berpusat pada diri sendiri (Kohlberg, 1976 :
Silverman, 1994).
2.
Penggunaan Ratio dan Rationale
Sebagai
seorang pendidik dan orangtua harus memberikan induksi kepada anak-anak ketika
mereka memikirkan kerugian fisik dan emosional yang ditimbulkan
perilaku-perilaku tertentu terhadap orang lain. Induksi adalah penjelasan
mengenai mengapa perilaku tertentu tidak dapat diterima , seringkali dengan
fokus pertimbangan pada rasa sakit atau kesuasahan yang ditimbulkan oleh
perilaku itu terhadap orang lain (M.L. Hoffman, 1970, 1975). Penggunaan induksi
secara konsisten pada anak-anak misalnya menegaskan bahwa mereka harus minta
maaf pada perilaku yang keliru , dapat mendorong kepatuhan terhadap peraturan
dan meningkatkan perkembangan empati, bela rasa , dan altruisme (Nucci, 2001).
3.
Isu dan dilema moral
Kohlberg
menyatakan bahwa anak-anak berkembang secara moral ketika mereka menghadapi suatu dilema moral yang tidak
dapat ditangani secara memadai dengan menggunakan tingkat penalaran moralnya
saat itu. Dalam upaya membantu anak-anak menghadapi dilema semacam itu,
kohlberg menyarankan agar guru menawarkan penalaran moral satu tahap diatas
tahap yang dimiliki anak pada saat itu. Penalaran moral anak-anak tidak
semata-mata dihasilkan oleh pewarisan nilai dan ajaran moral yang dilakukan
oleh orang dewasa ( doman, 1988 : Higgins, 1995 : Turiel, 1998), Melainkan
muncul dari kepercayaan-kepercayaan yang dikonstruksi secara personal oleh anak
itu sendiri, kepercayaan-kepercayaan yang seringkali ditinjau ulang, direvisi,
dan akhirnya diperbaiki oleh mereka seiring waktu.
4.
Perasaan diri
Anak-anak
muda mulai mengintegrasikan komitmen terhadap nilai-nilai moral ke dalam
indentitas mereka secara keseluruhan (
Nucci, 2001 ). Mereka menganggap diri mereka sebagai pribadi yang penuh
perhatian , yang peduli pada hak-hak dan kebaikan orang lain. Dalam sebuah
penelitian ( D. Hart & Fregley , 1995) bahwa para remaja tidak selalu
menampilkan penalaran moral yang lebih maju dibandingkan dengan teman-teman
sebaya mereka , tetapi mereka lebih sering menggambarkan diri mereka dalam
kerangka trait dan tujuan moral (sepeti menolong orang lain) dan menyebutkan
ideal-ideal tertentu yang menjadi arah usaha dan kerja keras mereka.
d.
Pendidikan Moral
1.
Kurikulum tersembunyi
Adalah Konsep Dewey (1933) bahwa setiap sekolah punya atmosfer moral
tersendiri meski sekolah itu tidak memberikan pelajaran tentang pendidikan
moral. Suasana atau atmosfer moral ini diciptakan oleh aturan sekolah dan
aturan kelas, orientasi moral dari guru dan administrator sekolah, dan teks
materi pelajaran. Guru bertindak sebagai model perilaku etis dan tak etis. Aturan
kelas dan hubungan teman sebaya disekolah berfungsi sebagai alat penyebar sikap
terhadap penipuan, bohong, pencurian, dan sebagainya. Melalui aturan dan
regulasi , administrasi sekolah memasukkan sistem nilai ke sekolah.
2.
Pendidikan Karakter
Adalah pendekatan langsung untuk
pendidikan moral dengan memberi pelajaran kepada murid tentang pengetahuan
moral dasar untuk mencegah mereka melakukan perilaku tidak bermoral atau
membahayakan diri sendiri dan orang lain. Bahwa perilaku seperti berbohong,
mencuri dan menipu adalah keliru dan murid harus diajari soal ini melalui
pendidikan mereka (Nucci, 2001). Menurut pendekatan pendidikan karakter ,
setiap sekolah harus punya aturan moral yang jelas yang dikomunikasikan dengan
jelas kepada murid, setiap pelanggaran aturan harus dikenai sanksi ( Bennet,
1993).
3.
Klarifikasi nilai
Adalah pendekatan untuk pendidikan
moral yang menekankan pada upaya membantu orang untuk mengklarifikasi untuk apa
hidup mereka dan apa yang layak untuk dikerjakan dalam hidup ini, murid
didorong untuk mendefinisikan sendiri nilai mereka dan memahami nilai diri
orang lain.
Contohnya , murid diminta untuk
memilih emam dari sepuluh orang yang akan dimasukkan ke tempat berlindung
karena perang dunia ketiga telah dimulai (Johnson, 1990). Dan orang-orang yang
harus mereka pilih antara lain pria penjual buku berusia 30 tahun, istri
penjual buku yang hamil 6 bulan, Mahasiswa kedokteran yang merupakan aktivis
politik, pria berumur 42 tahun yang dikenal sebagai penulis sejarah, Aktris
hollywood yang terkenal sebagai penyanyi, perempuan ahli biokomia, Seorang
Rabbi pria berusia 54 tahun, Atlet olimpiade pria yang bagus dalam semua
cabang, Mahasiswi perguruan tinggi, dan polisi yang punya pistol.
Dalam tipe ini, tak ada jawaban yang
benar dan salah, semua ditentukan oleh murid atau pendekatan ini bebas nilai.
Namun sebagian orang mengatakan bahwa klarifikasi nilai melemahkan nilai yang
diterima dan tidak bisa menekankan pada perilaku yang benar.
4.
Pendidikan moral kognitif
Adalah pendekatan pendidikan moral
yang didasarkan pada keyakinan bahwa murid harus mempelajari hal-hal seperti
demokrasi, dan keadilan saat moral
mereka sedang berkembang. Menurut Kohlberg (1986) pada suatu waktu murid harus
dikumpulkan untuk mendiskusikan sejumlah isu moral, pengajar bertindak sebagai
fasilitator, bukan pengatur kelas. Harapnnya adalah agar murid dapat
mengembangkan gagasan yang lebih maju seperti konsep kerjasama, kepercayaan,
tanggungjawab, dan komunitas. Dan dalam
upaya menolong para siswa menyelesaikan konflik-konflik dengan teman sebayanya,
pendidik dapat mendorong siswa untuk mengkaji situasi-situasi dari sudut
pandang teman-temannya dan bekerja secara kooperatif ke arah solusi yang adil.
5.
Melibatkan siswa untuk aktif dalam
pelayanan masyarakat
Siswa lebih cenderung setia dan taat
terhadap prinsip-prinsip moral yang kuat ketika mereka memiliki efikasi diri
yang tinggi untuk menolong orang lain dan ketika mereka telah mengintegrasikan
suatu komitmen terhadap ideal-ideal moral terhadap perasaan identitasnya (sense
of identity) secara keseluruhan. Tentu saja , presepsi diri semacam itu tidak
muncul begitu saja. Anak-anak lebih cenderung memiliki efikasi diri yang tinggi
untuk melakukan aktivitas-aktivitas prososial bila mereka mendapatkan bimbingan
dan dukungan yang mereka perlukan demi keberhasilan-keberhasilan itu. Mereka
juga cenderung mengintegrasikan nilai-nilai moral ke dalam perasaan diri (sense
of self) mereka secara keseluruhan bila mereka terlibat secara aktif dalam
pelayanan kepada orang lain bahkan sebelum mereka memasuki masa pubertas
(Nucci, 2001 : Younnis & yates, 1999). Melalui aktivitas pelayanan
masyarakat yang berkelanjutan disebut service learning, yakni aktivitas yang
mendorong pembelajaran dan perkembangan dengan berkontribusi terhadap
peningkatan kualitas hidup sesama dan masyarakat. Para siswa belajar bahwa
mereka memiliki keterampilan dan tanggung jawab memvantu orang-orang yang
kurang beruntung dibandingkan diri mereka, dan begitu ikutserta menjadikan
dunia tempat yang lebih baik untuk hidup. Dalam prosesnya, mereka juga mulai
membayangkan diri mereka sebagai warga negara yang peduli, berbela rasa, dan
bermoral (Younnis & Yates, 1999).
Daftar Pustaka :
Santrock, John W. 2007. Psikologi
Pendidikan edisi kedua. Jakarta :
Kencana
Ormrod, Jeanne Ellis. 2008.
Psikologi Pendidikan Jilid 1 edisi keenam.
Jakarta : Erlangga
Santrock, John W. 2001. Life-Span
Development Jilid
1 edisi kelima. Jakarta : Erlangga
Santrock, John W. 2001. Life-Span
Development Jilid
2 edisi kelima. Jakarta : Erlangga
Wade, Carol & Carol Tavris. 2007. Psikologi edisi kesembilan. Jakarta :
Erlangga
Shobur, Alex. 2003. Psikologi Umum. Jakarta : Pustaka Setia
Ratna Yudhawati &
Dany Haryanto. 2001. Teori – teori Dasar
Psikologi Pendidikan. Jakarta : Prestasi Pustaka
Nursalim, dkk . Psikologi Pendidikan. Surabaya : Unesa
Press
Alwisol. 2007. Psikologi Kepribadian. Malang : UMM
press
0 komentar:
Posting Komentar