Jumat, 21 Maret 2014
What a Wonderful ARGOPURO !!
Perjalanan empat sekawan selama 4 hari terbalaskan dengan indahnya surga Argopuro. Terimakasih Argopuro dan Si Cantik Rengganis .
Perkembangan Moral
a. Pengertian Moral
Moral
adalah standar umum yang dimiliki seseorang mengenai perilaku yang dianggap
benar dan salah (Jeanne Ellis Ormrod : 2008 : 102). Sehingga perkembangan moral merupakan perkembangan yang berhubungan
dengan aturan dan konvensi dari interaksi yang adil antar orang (John W.
Santrock : 2007 : 116). Moral sangat berkaitan dengan perilaku prososial, perilaku
sosial yakni perilaku yang ditujukan untuk memberi manfaat bagi orang lain
lebih dari diri sendiri. Perilaku prososial apabila ditambahi dengan kejujuran,
keadilan, dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebutuhan orang lain masuk
dalam ranah moralitas.
Keyakinan siswa mengenai perilaku
bermoral dan tidak bermoral yaitu keyakinan mengenai mana yang benar dan mana
yang salah mempengaruhi perilaku mereka di sekolah maupun di rumah. Para siswa
yang berpikir dan bertindak secara bermoral dan prososial memperoleh dukungan lebih
besar dari guru-guru dan teman-teman mereka dan, sebagai hasilnya , dalam
jangka panjang meraih keberhasilan akademis dan sosial semakin besar ( Caprara,
Barbaranelli, Pastorelli, Bandura & Zimbardo , 2000).
Pendidik
memainkan peran penting dalam pengembangan moral dan prososial para siswa. Seorang
pendidik harus selalu memerhatikan dan mengarahkan siswanya untuk bertindak
secara prososial kepada sesama temannya seperti bila terjadi pertengkaran ,
perbedaan pendapat , maupun kedatangan teman baru. Apabila pendidik mengabaikan
tindakan-tindakan egois dan agresi yang dilakukan siswa, mungkin dengan alasan
pembenar bahwa siswa seharusnya dibiarkan menyelesaikan masalah yang terjadi
diantara mereka. Pendidik tersebut hampir tidak membantu meningkatkan
perkembangan moral dan sosial siswanya , dan siswa akan berpresepsi bahwa
perilaku mereka tersebut benar ( Nucci, 2001).
b. Teori Perkembangan Moral
Ada sejumlah teori tentang perkembangan
moral. Tetapi terdapat dua tokoh yang sangat berpengaruh terhadap teori
perkembangan moral saat ini , yaitu
antara lain :
a. Teori
perkembangan moral Jean Piaget
Piaget (1932) membagi teorinya menjadi dua tahap , antara lain :
1.
Heteronomous morality
Adalah
tahap pertama perkembangan moral yang terjadi sekitar usia empat sampai tujuh
tahun , dimana keadilan dan aturan dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa diubah , diluar kontrol manusia (John W.
Santrock : 2007 : 118). Pemikir heteronomous percaya pada keadilan yang imanen
(selalu ada), yakni konsep bahwa jika satu aturan dilanggar, maka hukuman akan
segera dijatuhkan. Anak kecil percaya bahwa pelanggaran secara otomatis akan
menyebabkan jatuhnya hukuman. Mereka sering kali tampat takut setelah melanggar
suatu aturan, bersiap-siap menghadapi hukuman.
2.
Autonomious morality
Adalah
tahap perkembangan moral kedua , yang tercapai pada usia 10 tahun atau lebih.
Pada tahap ini , anak mulai mengetahui bahwa aturan dan hukum adalah buatan
manusia dan dalam menilai suatu perbuatan , niat pelaku dan konsekuensinya
harus dipikirkan.
Sedangkan anak usia tujuh
tahun sampai sepuluh tahun berada dalam masa transisi diantara kedua tahapan
tersebut dan karenanya mereka menunjukkan ciri-ciri dari kedua tahap tersebut.
Piaget mengatakan bahwa perkembangan moral
terutama berlangsung melalui hubungan timbal balik dengan rekan seusia. Menurut
piaget, orang tua tidak terlalu memainkan peran yang penting dalam perkembangan
moral anak karena mereka punya kekuasaan yang lebih besar ketimbang anak dan
menentukan aturan secara otoriter.
b. Teori
perkembangan moral Lawrence Kohlberg
Kohlberg
menyusun teori perkembangan moral yang terdiri dari tiga level dengan dua tahap
pada setiap level. Konsep penting untuk memahami teori ini adalah internalisasi
, yang berarti perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara
eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal (John W. Santrock
: 2001 : 371).
Berkut ini adalah tiga level dan enam
tahap perkembangan moral Kohlberg (Jeanne Ellis Ormrod : 2008 : 138 ).
Level
|
Rentang Usia
|
Tahap
|
Esensi
Penalaran Moral
|
Prakonvensional
|
Anak-anak prasekolah, sebagian besar anak SD,
sejumlah siswa SMP, dan segelintir siswa SMA
|
Hukuman Penghindaran
dan kepatuhan
|
Orang
membuat keputusan berdasarkan apa yang terbaik bagi mereka, tanpa
mempertimbangkan kebutuhan atau perasaan orang lain. Orang mematuhi peraturan
hanya jika peraturan tersebut dibuat oleh orang-orang yang lebih berkuasa,
dan mereka mungkin melanggarnya apabila tidak ketahuan orang lain.
|
Saling memberi
dan menerima
|
Orang
memahami bahwa orang lain juga memiliki kebutuhan. Mereka mungkin mencoba
memuaskan kebutuhan orang lain apabila kebutuhan mereka sendiri terpenuhi melalui
perbuatan tersebut.
|
||
Konvensional
|
Siswa SD
tingkat akhir, sejumlah siswa SMP, dan banyak siswa SMU
|
Anak baik
|
Orang
membuat keputusan melakukan tindakan tertentu semata-mata untuk menyenangkan
orang lain, terutama tokoh-tokoh yang memiliki otoritas. Mereka sangat peduli
pada terjaganya hubungan persahabatan melaui sgaring.
|
Hukum dan tata
tertib
|
Orang
memandang masyarakat sebagai suatu kesatuan yang utuh yang menyediakan
pedoman bagi perilaku. Mereka memahami bahwa peraturan itu penting untuk
menjamin berjalan harmonisnya kehidupan bersama , meyakini bahwa tugas mereka
dalah mematuhi aturan-aturan tersebut.
|
||
Pascakonvensional
|
Jarang muncul
sebelum masa kuliah
|
Kontrak sosial
|
Orang
memahami bahwa peraturan-peraturan yang ada merupakan representasi dari
persetujuan banyak individu mengenai perilaku yang dianggap tepat. Peraturan
dipandang sebagai mekanisme yang bermanfaat untuk memelihara keteraturan
sosial dan melindungi hak-hak individu, alih-alih sebagai perintah yang
bersifat mutlak yang harus dipatuhi semata-mata karena merupakan hukum.
|
Prinsip etika
unversal
|
Orang-orang
setia dan taat pada beberapa prinsip abstrak dan universal misalnya
kesetaraan semua orang , penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia,
komitmen pada keadilan yang melampaui norma-norma dan peraturan-peraturan
yang spesifik. Mereka sangat mengikuti hati nurani dan karena itu bisa saja
melawan peraturan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip etis mereka
sendiri.
|
Seiring
bertambahnya usia , anak-anak muda semakin mampu menerapkan standar-standar
yang lebih tinggi (advanced). Meski demikian , terkadang standar yang tergolong
cukup primitif seperti memuaskan kebutuhan sendiri tanpa memberikan kebutuhan
orang lain terkadang menjadi prioritas (Rest et. Al., 1999 : Turiel, 1998 ).
c.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan moral
1.
Perkembangan kognitif umum
Anak-anak
yang secara intelektual (gifted) berbakat umunya lebih sering berpikir tentang
isu moral dan bekerja keras mengatasi ketidakadilan di masyarakat lokal ataupun
dunia secara umum ketimbang teman-teman sebayanya (Silverman, 1994). Meski
demikian, perkembangan kognitif tidak menjamin perkembangan moral. Terkadang
siswa berpikir abstrak mengenai materi akademis dan pada saat yang sama bernalar
secara prakonvensional, yang berpusat pada diri sendiri (Kohlberg, 1976 :
Silverman, 1994).
2.
Penggunaan Ratio dan Rationale
Sebagai
seorang pendidik dan orangtua harus memberikan induksi kepada anak-anak ketika
mereka memikirkan kerugian fisik dan emosional yang ditimbulkan
perilaku-perilaku tertentu terhadap orang lain. Induksi adalah penjelasan
mengenai mengapa perilaku tertentu tidak dapat diterima , seringkali dengan
fokus pertimbangan pada rasa sakit atau kesuasahan yang ditimbulkan oleh
perilaku itu terhadap orang lain (M.L. Hoffman, 1970, 1975). Penggunaan induksi
secara konsisten pada anak-anak misalnya menegaskan bahwa mereka harus minta
maaf pada perilaku yang keliru , dapat mendorong kepatuhan terhadap peraturan
dan meningkatkan perkembangan empati, bela rasa , dan altruisme (Nucci, 2001).
3.
Isu dan dilema moral
Kohlberg
menyatakan bahwa anak-anak berkembang secara moral ketika mereka menghadapi suatu dilema moral yang tidak
dapat ditangani secara memadai dengan menggunakan tingkat penalaran moralnya
saat itu. Dalam upaya membantu anak-anak menghadapi dilema semacam itu,
kohlberg menyarankan agar guru menawarkan penalaran moral satu tahap diatas
tahap yang dimiliki anak pada saat itu. Penalaran moral anak-anak tidak
semata-mata dihasilkan oleh pewarisan nilai dan ajaran moral yang dilakukan
oleh orang dewasa ( doman, 1988 : Higgins, 1995 : Turiel, 1998), Melainkan
muncul dari kepercayaan-kepercayaan yang dikonstruksi secara personal oleh anak
itu sendiri, kepercayaan-kepercayaan yang seringkali ditinjau ulang, direvisi,
dan akhirnya diperbaiki oleh mereka seiring waktu.
4.
Perasaan diri
Anak-anak
muda mulai mengintegrasikan komitmen terhadap nilai-nilai moral ke dalam
indentitas mereka secara keseluruhan (
Nucci, 2001 ). Mereka menganggap diri mereka sebagai pribadi yang penuh
perhatian , yang peduli pada hak-hak dan kebaikan orang lain. Dalam sebuah
penelitian ( D. Hart & Fregley , 1995) bahwa para remaja tidak selalu
menampilkan penalaran moral yang lebih maju dibandingkan dengan teman-teman
sebaya mereka , tetapi mereka lebih sering menggambarkan diri mereka dalam
kerangka trait dan tujuan moral (sepeti menolong orang lain) dan menyebutkan
ideal-ideal tertentu yang menjadi arah usaha dan kerja keras mereka.
d.
Pendidikan Moral
1.
Kurikulum tersembunyi
Adalah Konsep Dewey (1933) bahwa setiap sekolah punya atmosfer moral
tersendiri meski sekolah itu tidak memberikan pelajaran tentang pendidikan
moral. Suasana atau atmosfer moral ini diciptakan oleh aturan sekolah dan
aturan kelas, orientasi moral dari guru dan administrator sekolah, dan teks
materi pelajaran. Guru bertindak sebagai model perilaku etis dan tak etis. Aturan
kelas dan hubungan teman sebaya disekolah berfungsi sebagai alat penyebar sikap
terhadap penipuan, bohong, pencurian, dan sebagainya. Melalui aturan dan
regulasi , administrasi sekolah memasukkan sistem nilai ke sekolah.
2.
Pendidikan Karakter
Adalah pendekatan langsung untuk
pendidikan moral dengan memberi pelajaran kepada murid tentang pengetahuan
moral dasar untuk mencegah mereka melakukan perilaku tidak bermoral atau
membahayakan diri sendiri dan orang lain. Bahwa perilaku seperti berbohong,
mencuri dan menipu adalah keliru dan murid harus diajari soal ini melalui
pendidikan mereka (Nucci, 2001). Menurut pendekatan pendidikan karakter ,
setiap sekolah harus punya aturan moral yang jelas yang dikomunikasikan dengan
jelas kepada murid, setiap pelanggaran aturan harus dikenai sanksi ( Bennet,
1993).
3.
Klarifikasi nilai
Adalah pendekatan untuk pendidikan
moral yang menekankan pada upaya membantu orang untuk mengklarifikasi untuk apa
hidup mereka dan apa yang layak untuk dikerjakan dalam hidup ini, murid
didorong untuk mendefinisikan sendiri nilai mereka dan memahami nilai diri
orang lain.
Contohnya , murid diminta untuk
memilih emam dari sepuluh orang yang akan dimasukkan ke tempat berlindung
karena perang dunia ketiga telah dimulai (Johnson, 1990). Dan orang-orang yang
harus mereka pilih antara lain pria penjual buku berusia 30 tahun, istri
penjual buku yang hamil 6 bulan, Mahasiswa kedokteran yang merupakan aktivis
politik, pria berumur 42 tahun yang dikenal sebagai penulis sejarah, Aktris
hollywood yang terkenal sebagai penyanyi, perempuan ahli biokomia, Seorang
Rabbi pria berusia 54 tahun, Atlet olimpiade pria yang bagus dalam semua
cabang, Mahasiswi perguruan tinggi, dan polisi yang punya pistol.
Dalam tipe ini, tak ada jawaban yang
benar dan salah, semua ditentukan oleh murid atau pendekatan ini bebas nilai.
Namun sebagian orang mengatakan bahwa klarifikasi nilai melemahkan nilai yang
diterima dan tidak bisa menekankan pada perilaku yang benar.
4.
Pendidikan moral kognitif
Adalah pendekatan pendidikan moral
yang didasarkan pada keyakinan bahwa murid harus mempelajari hal-hal seperti
demokrasi, dan keadilan saat moral
mereka sedang berkembang. Menurut Kohlberg (1986) pada suatu waktu murid harus
dikumpulkan untuk mendiskusikan sejumlah isu moral, pengajar bertindak sebagai
fasilitator, bukan pengatur kelas. Harapnnya adalah agar murid dapat
mengembangkan gagasan yang lebih maju seperti konsep kerjasama, kepercayaan,
tanggungjawab, dan komunitas. Dan dalam
upaya menolong para siswa menyelesaikan konflik-konflik dengan teman sebayanya,
pendidik dapat mendorong siswa untuk mengkaji situasi-situasi dari sudut
pandang teman-temannya dan bekerja secara kooperatif ke arah solusi yang adil.
5.
Melibatkan siswa untuk aktif dalam
pelayanan masyarakat
Siswa lebih cenderung setia dan taat
terhadap prinsip-prinsip moral yang kuat ketika mereka memiliki efikasi diri
yang tinggi untuk menolong orang lain dan ketika mereka telah mengintegrasikan
suatu komitmen terhadap ideal-ideal moral terhadap perasaan identitasnya (sense
of identity) secara keseluruhan. Tentu saja , presepsi diri semacam itu tidak
muncul begitu saja. Anak-anak lebih cenderung memiliki efikasi diri yang tinggi
untuk melakukan aktivitas-aktivitas prososial bila mereka mendapatkan bimbingan
dan dukungan yang mereka perlukan demi keberhasilan-keberhasilan itu. Mereka
juga cenderung mengintegrasikan nilai-nilai moral ke dalam perasaan diri (sense
of self) mereka secara keseluruhan bila mereka terlibat secara aktif dalam
pelayanan kepada orang lain bahkan sebelum mereka memasuki masa pubertas
(Nucci, 2001 : Younnis & yates, 1999). Melalui aktivitas pelayanan
masyarakat yang berkelanjutan disebut service learning, yakni aktivitas yang
mendorong pembelajaran dan perkembangan dengan berkontribusi terhadap
peningkatan kualitas hidup sesama dan masyarakat. Para siswa belajar bahwa
mereka memiliki keterampilan dan tanggung jawab memvantu orang-orang yang
kurang beruntung dibandingkan diri mereka, dan begitu ikutserta menjadikan
dunia tempat yang lebih baik untuk hidup. Dalam prosesnya, mereka juga mulai
membayangkan diri mereka sebagai warga negara yang peduli, berbela rasa, dan
bermoral (Younnis & Yates, 1999).
Daftar Pustaka :
Santrock, John W. 2007. Psikologi
Pendidikan edisi kedua. Jakarta :
Kencana
Ormrod, Jeanne Ellis. 2008.
Psikologi Pendidikan Jilid 1 edisi keenam.
Jakarta : Erlangga
Santrock, John W. 2001. Life-Span
Development Jilid
1 edisi kelima. Jakarta : Erlangga
Santrock, John W. 2001. Life-Span
Development Jilid
2 edisi kelima. Jakarta : Erlangga
Wade, Carol & Carol Tavris. 2007. Psikologi edisi kesembilan. Jakarta :
Erlangga
Shobur, Alex. 2003. Psikologi Umum. Jakarta : Pustaka Setia
Ratna Yudhawati &
Dany Haryanto. 2001. Teori – teori Dasar
Psikologi Pendidikan. Jakarta : Prestasi Pustaka
Nursalim, dkk . Psikologi Pendidikan. Surabaya : Unesa
Press
Alwisol. 2007. Psikologi Kepribadian. Malang : UMM
press
Pemberian Hukuman Edukatif pada Anak Sekolah Dasar
Sekolah
Dasar merupakan tahapan paling penting bagi anak karena di sekolah dasar
inilah mereka mendefinisikan diri sebagai siswa (Carnegie Corporation of
Newyork, 1996).
Berdasarkan kemampuan kognitifnya, anak sekolah dasar memasuki tahap
operasional konkret. Anak-anak masih belum berpikir seperti orang dewasa. Pada
tahap ini mereka dapat membentuk konsep , melihat hubungan, dan memecahkan
masalah, tetapi hanya sejauh mereka melibatkan objek dan situasi yang sudah
dikenal. Anak-anak sekolah dasar juga beralih dari pemikiran egosentris ke
pemikiran yang tidak terpusat atau objektif. Pemikiran tidak terpusat memungkinkan
anak-anak melihat bahwa orang lain dapat mempunyai presepsi yang berbeda dari
mereka. Misalnya anak-anak yang mempunyai pemikiran tidak terpusat akan mampu memahami
bahwa anak yang berbeda mungkin saja melihat pola yang berbeda dalam “awan”.
Anak-anak yang proses pemikirannya tidak terpusat mampu belajar
peristiwa-peristiwa yang mungkin saja diatur oleh hukum-hukum fisika, seperti
hukum gravitasi. Selain memasuki tahap operasional konkret anak-anak sekolah
dasar dengan pesat mengembangkan kemampuan daya ingat dan kognitif, termasuk
kemampuan meta-kognitif yaitu kemampuan memikirkan pemikiran mereka sendiri dan
mempelajari bagaimana belajar (Robert E. Slavin ; 2008 ; 106).
Dilihat dari perkembangan sosioemosional, bahwa seorang anak telah mengembangkan
kepercayaan selama bayi, otonomi selama usia-usia awal, dan inisiatif selama
masa-masa prasekolah, pengalaman anak itu di sekolah dasar dapat mengambil
andil bagi rasa kerajinan dan pencapaiannnya ( Erikson ; 1963). Anak-anak mulai
mencoba membuktikan bahwa mereka “tumbuh dewasa”, hal ini sering digambarkan
sebagai tahap saya – dapat – melakukannya – sendiri. Selain itu, Konsep diri
dan harga diri merupakan bidang perkembangan pribadi dan sosial yang penting
bagi anak sekolah dasar. Konsep diri merupakan persepsi seseorang tentang
kekuatan, kelemahan, kemampuan , sikap, dan nilainya sendiri. Harga diri
merujuk pada nilai yang kita berikan masing-masing pada karakteristik,
kemampuan , dan perilaku kita sendiri. Pada masa sekolah dasar, anak-anak mulai
terfokus pada sifat-sifat yang lebih abstrak dan internal seperti kecerdasan
dan kebaikan hati pada saat menggambarkan diri sendiri. Mereka juga mulai mengevaluasi
diri lewat perbandingan dengan anak-anak lain. Anak-anak yang lebih muda
menggunakan perbandingan sosial terutama untuk belajar tentang norma-norma
sosial dan kelayakan jenis-jenis perilaku tertentu (Ruble , Eisenberg , dan
Higgins ; 1994). Ketika usia anak semakin bertambah , mereka juga cenderung
menggunakan perbandingan sosial untuk mengevaluasi dan menilai kemampuan mereka
sendiri (Borg ; 1998). Sebenarnya Kata
kunci tentang perkembangan pribadi dan sosial ialah penerimaan. Faktanya ialah bahwa
anak-anak benar-benar berbeda-beda dalam kemampuan mereka dan tidak peduli
apapun yang dilakukan guru, siswa akan memikirkan pada masa akhir sekolah dasar
siapa yang lebih mampu dan siapa yang kurang mampu.
Sehingga perilaku anak sekolah dasar
yang cenderung aktif dan nakal tersebut seperti suka bercerita, mencoba sesuatu
yang baru, lebih suka bermain dengan teman sebaya dari pada belajar, suka
beradu gengsi dengan teman-temannya , merasa “bisa” sendiri dalam segala hal
dan moody, membuat orangtua atau guru sering jengkel kepada ulah mereka
tersebut. Orangtua dan gurupun sering memberi hukuman pada mereka.
Menurut teori perkembangan behavior B.F. Skinner , hukuman merupakan bagian dari
pengkondisian operan. Pengkondisian operan merupakan penggunaan konsekuensi
yang menyenangkan atau tidak menyenangkan untuk mengendalikan terjadinya
perilaku (Robert E. Slavin ; 2008 ; 183). Konsekuensi ialah kondisi yang
menyenangkan atau tidak menyenangkan yang terjadi sesudah perilaku dan
memengaruhi frekuensi perilaku pada masa mendatang. Konsekuensi yang
menyenangkan biasa disebut dengan tindakan penguatan. Sedangkan konsekuensi yang
tidak menyenangkan disebut dengan tindakan penghukuman (punisher). Tindakan
penghukuman dalam lingkungan membentuk karakter atau sifat setiap anak ( John W. Santrock ; 2001 ; 45 ). Apabila
konsekuensi yang kelihatannya tidak menyenangkan tidak mengurangi frekuensi
perilaku yang diikutinya, hal itu tidak selalu merupakan tindakan penghukuman,
misalnya beberapa siswa senang disuruh ke luar kelas atau ke aula, karena hal itu membebaskan mereka
dari ruang kelas, yang mereka lihat sebagai situasi yang menyenangkan (
Dirscoll, 2000; Kauffman et al , 2002; martella et al , 2003 ). Menurut Skinner
hukuman dapat mempunyai dua bentuk utama , antara lain :
1. Hukuman
pemberlakuan, ialah rangsangan yang tidak disukai (averse stimuli) yang mengikuti
perilaku tertentu, yang digunakan untuk memperkecil kemungkinan bahwa perilaku
tersebut akan terjadi lagi. Rangsangan yang tidak disukai merupakan konsekuensi
yang tidak menyenangkan yang coba dihindari seseorang. Seperti ketika seorang siswa diomeli.
2. Hukuman
pencabutan, ialah penatikan kembali konsekuensi yang menyenangkan yang
memperkuat perilaku tertentu yang dirangcang untuk memperkecil kemungkinan bahwa
perilaku itu akan terulang. Salah satu bentuk hukuman pencabutan yang sering
digunakan di ruang kelas ialah penyingkiran. Penyingkiran adalah prosedur
memindahkan siswa dari suatu situasi dimana perilaku yang tidak pantas
dikuatkan (Nelson & Carr, 2000) , misalnya siswa yang berperilaku tidak
pantas diminta duduk di sudut depan kelas selama pelajaran berlangsung. Guru
sering menggunakan penyingkiran ketika mereka percaya bahwa perhatian
siswa-siswa lain berperan memperkuat perilaku yang tidak pantas , penyingkiran
menghilangkan dari pelakunya tindakan penguatan ini. Penggunaan penyingkiran
sebagai konsekuensi atas perilaku yang tidak pantas pada umumnya telah
ditemukan mengurangi perilaku yang tidak pantas ( Costenbader &
Reading-Brown, 1995).
Ahli teori
behavior mendukung penggunaan hukuman seharusnya ditempuh hanya ketika
penguatan untuk perilaku yang tepat telah dicoba dan tidak berhasil. Ketika hukuman
diperlukan, hal itu seharusnya diberikan dalam bentuk yang seringan mungkin.
Hukuman fisik di sekolah (seperti pukulan) bertentangan dengan hukum
dikebanyakan tempat (Evans & Richardson , 1995) dan ditentang secara
universal oleh ahli teori behavior dengan alasan etis dan ilmiah ( Kazdin ,
2001 ; Malott et al ., 2000)
Tetapi di kalangan masyarakat pada umumnya, menganggap Hukuman sebagai
penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang
(orang tua dan guru) setelah terjadi suatu pelanggaran dan kesalahan (M. Ngalim
Purwanto ; 2006 ; 186). Tetapi hukuman dalam
dunia pendidikan bukanlah suatu sisksaan, melainkan suatu usaha untuk
mengembalikan anak ke arah yang lebih baik serta memotivasi mereka agar menjadi
pribadi yang imajinatif, kreatif, dan produktif (Yanuar A. ; 2012 ; 18).
Dalam konteks pendidikan, tujuan pemberian hukuman dapat
dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu tujuan jangka pendek dan jangka panjang.
Adapun tujuan jangka pendek adalah untuk menghentikan tingkah laku yang
salah, sedangkan tujuan jangka panjang tak lain adalah untuk mengajar dan
mendorong anak agar dapat menghentikan sendiri tingkah lakunya yang salah.
Tujuan dan motif orang tua dan guru memberikan hukuman kepada anak bermacam-macam.
Hal tersebut dikaitkan dengan
teori-teori hukuman yang telah banyak dikemukaan oleh pakar pendidikan (Yanuar
A. ; 2012 ; 59). Tujuan hukuman antara lain :
a. Berdasarkan
teori pembalasan, hukuman diadakan sebagai pembalasan dendam terhadap kesalahan
yang telah dilakukan oleh seseorang. Dalam konteks pendidikan , teori ini
biasanya diterapkan karena si anak pernah mengecawakan, misalnya si anak pernah
mengejek atau menjatuhkan harga diri guru
di sekolah atau pandangan masyarakat. Hukuman yang dilandasi dengan tujuan
pembalasan adalah hukuman yang paling jahat yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan dalam dunia pendidikan.
b. Berdasarkan
teori perbaikan, hukuman diberikan untuk memperbaiki anak yang berbuat salah
dengan harapan agar selanjutnya ia tidak melakukan kesalahan lagi atau sadar
atas kesalahannya.
c. Berdasarkan
teori ganti rugi, hukuman diadakan untuk mengganti kerugian-kerugian yang telah
diderita akibat pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan. Contoh seorang
guru bisa menghukum siswa yang merusak mainan temannya dengan mengganti mainan
yang telah ia rusakkan.
d. Berdasarkan
teori menakut-nakuti, hukuman diberikan untuk menimbulkan perasaan takut kepada
si pelanggarakan akibat pelanggaran atau kesalahan yang telah dilakukannya
sehingga ia menjadi takut untuk mengulangi perbuatannya dan mau
meninggalkannya.
Setiap orang tua
atau guru memiliki tujuan yang berbeda-beda dalam memberikan hukuman pada
anak-anak. Caranya pun juga berbeda ada yang memberikan hukuman yang bersifat
negatif maupun positif , yang masing-masing memberikan dampak tertentu pada perkembangan anak. Hukuman
yang bersifat negatif antara lain :
1. Menggunakan
kekerasan, seperti pukulan , cubitan, cambukan, dan lainnya. Anak yang
mandapatkan hukuman keras lebih cenderung untuk berbohong dibandingkan anak
yang jarang mendapatkan hukuman keras (Victoria Talwar dan Kang Lee ; 2011).
Anak pun mulai menganggap bahwa sikap kasar yang yang ia peroleh adalah sikap
yang benar dan boleh ditiru. Dan dalam
situasi dimana anak-anak sering dihukum berat, mereka akan belajar untuk
menghindari hukuman tersebut dengan cara apapun. Selain itu hukuman fisik akan
membuat IQ anak menjadi rendah , hal tersebut berdasarkan penelitian Murray
Straus dari Univesity of New Hampshire.
2. Marah
besar, hal tersebut dapat memberikan trauma yang mendalam pada anak-anak dan
akan terbawa sampai mereka dewasa. Dampak tersebut muncul karena Orang tua atau
guru tidak pernah bisa menoleransi barbagai kesalahan yang dibuat oleh anak.
Padahal sangat mugkin, apabila kesalahan-kesalahan tersebut dilakukan karena
kurang perhatiannya orang tua ataupun guru kepada anak atau kurangnya pemahaman
anak tentang sikap dan perilaku baik yang seharusnya ia lakukan (Yanuar A. ;
2012 ; 73).
3. Berkata
buruk, misalnya perkataan setan kamu, kurang ajar, bodoh, nakal , dan lainnya.
Perkataan-perkataan itu akan melukai perasaan anak, bahkan bisa menghilangkan
kepercayaan diri mereka, semakin membuat mereka jauh dari orang tua maupun
guru, serta tidak tertarik untuk mengikuti pelajaran maupun nasihat dari orang
tua atau guru. Lebih jauh lagi mereka akan meniru perkataan buruk tersebut dan
melontarkannya kepada teman-teman ataupun saudaranya.
Selain
hal-hal diatas, hukuman negatif meyebabkan anak menjadi kehilangan perasaan
bersalah. Tak jarang, setelah orang tua atau guru memberikan hukuman, seorang
anak merasa bahwa dirinya tidak lagi memiliki perasaan bersalah. Saat anak
tidak memiliki perasaan bersalah, seringkali ia akan mengulangi kesalahannya
lagi karena sudah terbiasa atau setidaknya akan menggampangkan hukuman yang
telah diberikan kepadanya. Maka dari itu, setelah memberikan hukuman pada anak
hendaknya orang tua atau guru benar-benar memastikan bahwa anak sudah memiliki
kesadaran penuh jika tindakannya tersebut salah dan tidak baik untuk dilakukan
lagi di masa depan.
Hukuman
buruk juga akan memancing balasan oleh anak. Sering dijumpai anak setelah
menerima hukuman , memendam rasa benci di hatinya atas hukuman yang diberikan
kepadanya. Sehingga di kemudian hari ia akan berusaha membalas pemberi hukuman.
Rasa benci itu sendiri muncul karena jenis hukuman yang diberikan kepadanya
tidak tepat.
Berikut
ini beberapa contoh kasus pemberian
hukuman keras atau fisik pada anak yang akhir-akhir ini terjadi di
masyarakat antara lain :
“Kevin , Siswa salah
satu sekolah di Pondidaha, Konawe, Sulawesi tenggara yang mulai memperlihatkan
perilaku aneh akhirnya dirawat di RSJ. Orang tua korban menilai kondisi anaknya
itu akibat pemukulan yang dilakukan oleh enam temannya dan dua gurunya. Seorang
guru mengaku hanya menampar kevin dengan buku tipis karena kevin mencoret-coret
bukunya dengan gambar yang tidak senonoh dan kevin malah ketawa ketika guru
tersebut mengingatkannya. Sedangkan pemukulan oleh enam temannya memang pernah
terjadi tetapi tidak diungkap alasannya. Wakil kepala sekolah Bidang Kesiswaan
Marthin Taolo Runi hanya mengatakan sudah menyelesaikan perkelahian tersebut
secara kekeluargaan dan menurutnya mereka sudah saling memaafkan. ( Jawa Pos ;
4 April 2013 ; 14).”
Hal tersebut
membuktikan , bahwa kekerasan pada anak menimbulkan depresi yang sangat
mendalam sampai anak tersebut mengalami gangguan kejiwaan.
“Tuban-
Praktik hukuman fisik masih saja menghiasi dunia pendidikan di Tuban. Misalnya,
yang dialami Michael Eka Juanda, 13. Kemarin, dia terpaksa tidak berangkat
sekolah gara-gara kaki kirinyabengkak lantaran terkilir setelah diikat di dalam
kelas. Dia menceritakan, saat di sekolah (9/3) sekitar pukul 10.00, dirinya
hendak menuju ke kamar kecil. Karena dua kakinya diikat rafia, dirinya berjalan
pincang. “saya pun jatuh dan sakit”, ujarnya. Micahel pun menjelaskan, kakinya
diikat senin (4/3) gara-gara, ada sejumlah siswa yang sering pindah-pindah
tempat. Karena itu, wali kelas memerintahkan untuk mengikat salah satu
kaki mereka di meja dengan menggunakan
tali rafia. Hal tersebut berlangsung selama tiga hari. Maria Magdalena, wali
kelasnya mengakui hal itu “Tiga hari pertama kami perintahkan untuk diikat di
meja dan selanjutnya kedua kaki diikat.” Tegasnya. Alasanyapun sama dengan yang
diceritakann oleh Michael ( Jawa Pos ; 12 Maret 2013 ; 10).
Kasus
diatas, menggambarkan bahwa seorang guru memberikan hukuman tanpa memikirkan akibatnya
dan tidak bersikap dewasa sebagaimana mestinya. Hukuman yang ia berikan dapat
menimbulkan ketakutan tersendiri di hati siswa sehingga ia akan cenderung tidak
mengembangkan kemampuannya tapi malah menarik diri. Karena mereka takut setiap
hal yang mereka lakukan “takut salah dihadapan orang yang lebih dewasa”.
“Mojokerto – sidang
dugaan penganiayaan guru kepada siswa SDN Sumberjati 2, Kecamatan Mojoanyar di
Pengadilan Negeri Mojokerto dipenuhi ratusan guru. Terdakwa Sutiyo guru kelas
VI tersebut dilaporkan oleh muridnya sendiri Teguh Muji Wicaksono karena kasus
penganiayaan. Dugaan penganiayaan tersebut terjadi di sekolah, saat itu
terdakwa sedang mengajar (pukul 07.00 hingga 09.00). Dia meminta salah seorang
siswa kedepan. Namun, siswa tersebut mengenakan sepatu hanya sebelah. Terdakwa
lantas mendatangi korban dengan menarik kedua cambangnya (Jawa Pos ; 8 Maret
2013 ; 16).
Kejadian
diatas, merupakan akibat dari hukuman yang tidak tepat yang diberikan oleh
guru. Anak mungkin merasa sakit hati ketika guru tersebut menghukumnya di depan
teman-temannya. Sehingga ia membalas perbuatan gurunya tersebut dengan
melaporkannya ke pihak yang berwajib.
Para
pakar pendidikan anak pun melarang keras pemberian hukuman fisik kepada anak.
Hukuman fisik haruslah menjadi solusi terakhir saat tidak memiliki gambaran
lain untuk menghukum anak ( Yanuar A. ; 2012 ; 93).
Dalam
memberikan hukuman pada anak , orang tua atau guru dapat melakukan beberapa pendekatan untuk membantu
mendisiplinkan anak, antara lain :
a. Bersikap
tegas
Dengan bertindak tegas
dalam menyampaikan alasan-alasan yang dilandasi pemikiran rasional, seorang
anak pun pasti akan segan untuk sekadar membantah dan menolak larangan orang
tua atau guru. Dengan sikap tegas ini pula, orang tua atau guru akan mendapatkan
sikap respek dari anak.
b. Tidak
plinplan
Pada dasarnya, anak
akan meniru apa yang orang dewasa lakukan. Begitu pun jika orang tua atau guru
bersikap plinplan terhadap suatu keputusan. Misalnya, seorang ibu tidak setuju
si anak melompat-lompat di tempat tidur, sementara sang ayah membiarkannya. Hal
ini tentu akan membuat anak bingung, akibatnya ia mengabaikan larangan sang
ibu.
c. Kompromi
Anak-anak tak selalu
bisa mengatasi dan membedakan antara persoalan yang besar dan kecil. Dengan
tindakan kompromi yang dilakukan orang tua atau guru menjadi semakin mudah menghadapi
persoalan yang lebih besar nantinya, jika orang tua atau guru keberatan dengan
perilaku anak, mereka harus menyatakan dengan jelas namun tetap menggunakan
bahasa yang halus. Misalnya dengan mengatakan, “kurangilah suara televisinya,
Nak !” dan tidak mengatakan, “ hai, televisinya jangan keras-keras ! “.
d. Selalu
tenang
Marah sambil berteriak,
membentak atau menceramahi anak tanpa henti merupakan tindakan kekerasan verbal
terhadap anak. Jika orang tua atau guru melakukan tindakan seperti itu kepada
anak yang berbuat salah, maka hal tersebut justru bisa merusak harga diri anak.
Akibatnya anak menjadi tidak memiliki rasa percaya diri dihadapan orang tua
atau guru. Bahkan anak bisa takut manakala melihat orang tua atau guru, dan
bukannya segan.
e. Mengambil
posisi yang tepat
Menunduk saat berbicara
pada anak atau mengambil posisi duduk dihadapannya sehingga pandangan mata
orang tua atau guru sejajar dengan anak. Dengan sikap seperti itu, orang tua
atau guru tidak perlu merasa khawatir akan kehilangan respek dari anak. Justru
sebaliknya, anak akan semakin menghormati dan menghargai orang tua atau guru.
f. Tidak
melakukan penyuapan
Apabila membiasakan
memberi uang atau hadiah kepada anak, dengan persyaratan ia tidak melakukan
kesalahan atau bmelanggar peraturan yang telah disepakati bersama. Kebiasaan
seperti itu bisa membuat anak tidak tulus dalam melakukan sesuatu. Anak mau
mematuhi peraturan apabila ada imbalannya. Tentu saja, hal ini bukanlah
tindakan yang mendidik melainkan justru mengajarkan praktik penyuapan pada
anak.
g. Menghadapi
rengekan
Merengek adalah senjata
andalan anak ketika ia meminta sesuatu kepada orang dewasa. Namun orang tua
atau guru tidak selalu menuruti rengekannya. Orang tua atau guru harus
mengatakan tudak manja atau merengek kepada anak. Dan menegaskan pula bahwa
orang tua atau guru tidak akan menuruti kemauannya apabila disampaikan dengan
merengek. Hal ini bermanfaat bagi psikologi anak untuk tidak berjiwa lemah.
h. Memberikan
contoh yang baik
Anak tidak selalu
diajarkan sesuatu melalui komunikasi, karena cukup dengan melihat saja, anak
sudah belajar dan merekamnya di otak.
Karena itu, orang tua atau guru harus memberikan contoh yang baik pada anak,
termasuk ketika memberikan hukuman pada anak. Misalnya ketika orang tua
melarang anak untuk tidak bertengkar dengan temannya, sementara orang tuanya
sendiri bertengkar. Anak akan merekam segala sesuatu yang ia lihat di memori
bawah sadarnya. Dan itu, akan mempengaruhinya kelak ketika telah dewasa.
Dalam
memberikan hukuman pada anak , orang tua atau guru tidak sekadar menentukan
jenis hukuman pada anak. Lebih dari itu, metode atau cara memberikan hukuman
juga perlu diperhatikan sehingga, anak-anak bisa memahami dengan baik makna
hukuman yang diberikan kepada mereka.
Dengan
menggunakan pendekatan-pendekatan tersebut, pemberian hukuman pun lebih
ditekankan pada sisi edukatif guna membentuk pribadi anak yang selalu
bertanggung jawab atas perbuatannya. Jadi hukuman bukan semata sebagai ajang
pelampiasan amarah orang tua atau guru untuk menyakiti anak ataupun untuk
menunjukkan kedewasaan orang tua atau guru sebagai orang yang lebih dewasa.
Adapun jenis-jenis hukuman edukatif
yang oleh pakar pendidikan dinilai sebagai cara pendidikan yang efektif dan
baik (Yanuar A. ; 2012 ; 111), antara lain :
a. Memperlihatkan
wajah masam kepada anak
Bagi anak, wajah yang
masam dari orang tua atau guru sejatinya adalah sebuah hukuman bagi mereka.
Saat anak menyadari perubahan wajah yang tejadi pada orang tuanya atau gurunya,
dengan sendirinya anak akan berusaha mengoreksi diri dari kesalahan yang tidak
orang tuanya atau gurunya sukai itu. Tetapi orang tua atau guru juga harus
memberikan nasihat kepada anaknya.
b. Memberikan
anak tugas bersih-bersih
Sebagai orang tua atau
guru tentu akan marah jika anak tidak mau menjaga kebersihan. Misalnya
mencoret-coret tembok atau meja, menaruh pakaian kotor sembarangan tempat,
membuang sampah sembarangan dan lain sebagainya. Apabila anak melakukan hal
tersebut, orang tua dapat memberikan tugas bersih-bersih pada anak. Dengan
hukuman semacam itu, secara tidak langsung telah mengajari anak untuk bersikap
tanggung jawab, dimana ia harus menjaga kebersihannya sendiri dan
lingkungannya.
c. Menyuruh
anak untuk meminta maaf kepada orang yang bersangkutan
Meminta maaf adalah
alternatif hukuman yang mendidik. Dengan menyuruh anak untuk meminta maaf
kepada teman yang telah ia salahi, orang tua atau guru sejatinya tengah
mengajari anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.
d. Menyuruh
anak untuk belajar
Orang tua tak hanya
menyuruh anak untuk belajar, tetapi seharusnya orang tua memotivasi dan
membantu anak untuk belajar. Diantaranya yaitu terlibat dalam kegiatan anak,
membantu anak merancang strategi untuk memecahkan masalahnya, membacakan
dongeng anak untuk merangsang minat baca anak, merayakan setiap keberhasilan
anak, dan tentunya menemani anak bermain.
e. Menyuruh
anak membantu pekerjaan orang tua atau guru
Membantu pekerjaan di
sini tentu bukan dalam artian mengajak anak untuk bekerja selayaknya orang tua
melakukan pekerjaannya. Namun membantu pekerjaan di sini maksudnya meminta anak
untuk membantu hal-hal yang biasa dikerjakan oleh orang tua di rumah dan
sekiranya anak mampu untuk melakukannya, seperti mencuci motor atau mobil,
membuang sampah, membersihkan kebun atau taman, membantu memasak dan
sebagainya. Dengan menyuruh anak tersebut, orang tua sejatinya tengah mengajari
anak tentang kepatuhan kepada orang tua, tanggungjawab terhadap diri sendiri
dan keluarga, serta pentingnya kerja sama.
f. Menyuruh
anak membaca buku dan menulis
Menumbuhkan minat baca
pada anak memang sulit, maka harus diperlukan ketelatenan dan cara tepat yang
dapat merangsang minat anak. Beberapa caranya antara lain :
1. Membiarkan
anak untuk memilih, ketika orang tua atau guru mengajak anak ke toko buku atau
perpustakaan, orang tua atau guru membebaskan anak untuk memilih buku apa yang
mereka beli atau baca, asalkan itu sesuai umur mereka.
2. Mengetahui
kemampuan membaca anak, dengan mengetahui jenis-jenis buku apa yang sering
dibaca anak , orang tua dapat menfasilitasi minat anak tersebut. Sehingga anak
dapat mengembangkan kemampuan membaca, bernalar, dan imajinasi mereka.
3. Mengajukan
pertanyaan
Tak hanya menfasilitasi
saja, tetapi orang tua atau guru harus memberikan pertanyaan kepada anak tentang
isi buku yang mereka baca. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan
anak untuk memahami suatu isi buku.
Sedangkan menumbuhkan
minat menulis pada anak, orang tua dapat membiasakan anak untuk menulis
pengalaman-pengalaman setiap harinya di dalam sebuah buku diary.
g. Menyuruh
anak untuk bilang sayang kepada “ayah atau ibunya”
Mungkin pernyataan “
aku sayang ayah dan ibu” merupakan hal yang sepele tetapi pernyataan seperti
itu sejatinya menghasilkan energi positif bagi anak. Pernyataan tersebut mendidik
anak agar tidak mengecewakan orang tua dan justru anak akan merasa orangtuanya
sangat memperhatiukannya dan menyayanginya.
Dengan
mengetahui dampak dari setiap hukuman, sejatinya orang tua dapat menentukan
jenis hukuman apa yang cocok untuk anak mereka sesuai dengan usia dan karakteristik
masing-masing anak. Serta pemberian hukuman tersebut sangat menunjang
perkembangan mereka, bukan malah merusak masa depan anak karena tingkat sekolah dasar merupakan tahap yang paling
penting dan dasar dari setiap presepsi dan kepribadian anak ke depannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Santrock, John W. 2001. Life-Span Development Jilid
1 edisi kelima. Jakarta : Erlangga.
Slavin,
Robert E. 2008. Psikologi Pendidikan
Jilid 1 Edisi keenam. Jakarta : Erlangga .
Purwanto,
M. Ngalim. 2006. Ilmu pendidikan teoretis
dan Praktis. Bandung : Remaja Rosdakarya.
A.Yanuar.
2012. Jenis-jenis hukuman edukatif untuk
anak SD. Jogjakarta : Diva Press.
Koran
Jawa Pos Indonesia.
Vivanews.com.
Langganan:
Komentar (Atom)