Pages

Jumat, 21 Maret 2014

What a Wonderful ARGOPURO !!








Perjalanan empat sekawan selama 4 hari terbalaskan dengan indahnya surga Argopuro. Terimakasih Argopuro dan Si Cantik Rengganis .

Perkembangan Moral



a.  Pengertian Moral

                        Moral adalah standar umum yang dimiliki seseorang mengenai perilaku yang dianggap benar dan salah (Jeanne Ellis Ormrod : 2008 : 102). Sehingga perkembangan  moral merupakan perkembangan yang berhubungan dengan aturan dan konvensi dari interaksi yang adil antar orang (John W. Santrock : 2007 : 116). Moral sangat berkaitan dengan perilaku prososial, perilaku sosial yakni perilaku yang ditujukan untuk memberi manfaat bagi orang lain lebih dari diri sendiri. Perilaku prososial apabila ditambahi dengan kejujuran, keadilan, dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebutuhan orang lain masuk dalam ranah moralitas.
                 Keyakinan siswa mengenai perilaku bermoral dan tidak bermoral yaitu keyakinan mengenai mana yang benar dan mana yang salah mempengaruhi perilaku mereka di sekolah maupun di rumah. Para siswa yang berpikir dan bertindak secara bermoral dan prososial memperoleh dukungan lebih besar dari guru-guru dan teman-teman mereka dan, sebagai hasilnya , dalam jangka panjang meraih keberhasilan akademis dan sosial semakin besar ( Caprara, Barbaranelli, Pastorelli, Bandura & Zimbardo , 2000).
                        Pendidik memainkan peran penting dalam pengembangan moral dan prososial para siswa. Seorang pendidik harus selalu memerhatikan dan mengarahkan siswanya untuk bertindak secara prososial kepada sesama temannya seperti bila terjadi pertengkaran , perbedaan pendapat , maupun kedatangan teman baru. Apabila pendidik mengabaikan tindakan-tindakan egois dan agresi yang dilakukan siswa, mungkin dengan alasan pembenar bahwa siswa seharusnya dibiarkan menyelesaikan masalah yang terjadi diantara mereka. Pendidik tersebut hampir tidak membantu meningkatkan perkembangan moral dan sosial siswanya , dan siswa akan berpresepsi bahwa perilaku mereka tersebut benar ( Nucci, 2001).
             
           
b.  Teori Perkembangan Moral
              Ada sejumlah teori tentang perkembangan moral. Tetapi terdapat dua tokoh yang sangat berpengaruh terhadap teori perkembangan moral saat ini ,  yaitu antara lain :
a.       Teori perkembangan moral Jean Piaget
Piaget (1932) membagi  teorinya menjadi dua tahap , antara lain :
1.      Heteronomous morality
Adalah tahap pertama perkembangan moral yang terjadi sekitar usia empat sampai tujuh tahun , dimana keadilan dan aturan dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa  diubah , diluar kontrol manusia (John W. Santrock : 2007 : 118). Pemikir heteronomous percaya pada keadilan yang imanen (selalu ada), yakni konsep bahwa jika satu aturan dilanggar, maka hukuman akan segera dijatuhkan. Anak kecil percaya bahwa pelanggaran secara otomatis akan menyebabkan jatuhnya hukuman. Mereka sering kali tampat takut setelah melanggar suatu aturan, bersiap-siap menghadapi hukuman.
2.      Autonomious morality
Adalah tahap perkembangan moral kedua , yang tercapai pada usia 10 tahun atau lebih. Pada tahap ini , anak mulai mengetahui bahwa aturan dan hukum adalah buatan manusia dan dalam menilai suatu perbuatan , niat pelaku dan konsekuensinya harus dipikirkan.
                  Sedangkan anak usia tujuh tahun sampai sepuluh tahun berada dalam masa transisi diantara kedua tahapan tersebut dan karenanya mereka menunjukkan ciri-ciri dari kedua tahap tersebut.
      Piaget mengatakan bahwa perkembangan moral terutama berlangsung melalui hubungan timbal balik dengan rekan seusia. Menurut piaget, orang tua tidak terlalu memainkan peran yang penting dalam perkembangan moral anak karena mereka punya kekuasaan yang lebih besar ketimbang anak dan menentukan aturan secara otoriter.
b.      Teori perkembangan moral Lawrence Kohlberg
            Kohlberg menyusun teori perkembangan moral yang terdiri dari tiga level dengan dua tahap pada setiap level. Konsep penting untuk memahami teori ini adalah internalisasi , yang berarti perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal (John W. Santrock : 2001 : 371).   

Berkut ini adalah tiga level dan enam tahap perkembangan moral Kohlberg (Jeanne Ellis Ormrod : 2008 : 138 ).
Level
Rentang Usia
Tahap
Esensi Penalaran Moral
Prakonvensional
Anak-anak prasekolah, sebagian besar anak SD, sejumlah siswa SMP, dan segelintir siswa SMA
Hukuman Penghindaran dan kepatuhan
Orang membuat keputusan berdasarkan apa yang terbaik bagi mereka, tanpa mempertimbangkan kebutuhan atau perasaan orang lain. Orang mematuhi peraturan hanya jika peraturan tersebut dibuat oleh orang-orang yang lebih berkuasa, dan mereka mungkin melanggarnya apabila tidak ketahuan orang lain.
Saling memberi dan menerima
Orang memahami bahwa orang lain juga memiliki kebutuhan. Mereka mungkin mencoba memuaskan kebutuhan orang lain apabila kebutuhan mereka sendiri terpenuhi melalui perbuatan tersebut.
Konvensional
Siswa SD tingkat akhir, sejumlah siswa SMP, dan banyak siswa SMU
Anak baik
Orang membuat keputusan melakukan tindakan tertentu semata-mata untuk menyenangkan orang lain, terutama tokoh-tokoh yang memiliki otoritas. Mereka sangat peduli pada terjaganya hubungan persahabatan melaui sgaring.
Hukum dan tata tertib
Orang memandang masyarakat sebagai suatu kesatuan yang utuh yang menyediakan pedoman bagi perilaku. Mereka memahami bahwa peraturan itu penting untuk menjamin berjalan harmonisnya kehidupan bersama , meyakini bahwa tugas mereka dalah mematuhi aturan-aturan tersebut.
Pascakonvensional
Jarang muncul sebelum masa kuliah
Kontrak sosial
Orang memahami bahwa peraturan-peraturan yang ada merupakan representasi dari persetujuan banyak individu mengenai perilaku yang dianggap tepat. Peraturan dipandang sebagai mekanisme yang bermanfaat untuk memelihara keteraturan sosial dan melindungi hak-hak individu, alih-alih sebagai perintah yang bersifat mutlak yang harus dipatuhi semata-mata karena merupakan hukum.
Prinsip etika unversal
Orang-orang setia dan taat pada beberapa prinsip abstrak dan universal misalnya kesetaraan semua orang , penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia, komitmen pada keadilan yang melampaui norma-norma dan peraturan-peraturan yang spesifik. Mereka sangat mengikuti hati nurani dan karena itu bisa saja melawan peraturan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip etis mereka sendiri.

            Seiring bertambahnya usia , anak-anak muda semakin mampu menerapkan standar-standar yang lebih tinggi (advanced). Meski demikian , terkadang standar yang tergolong cukup primitif seperti memuaskan kebutuhan sendiri tanpa memberikan kebutuhan orang lain terkadang menjadi prioritas (Rest et. Al., 1999 : Turiel, 1998 ).

c.  Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral
1.      Perkembangan kognitif umum
Anak-anak yang secara intelektual (gifted) berbakat umunya lebih sering berpikir tentang isu moral dan bekerja keras mengatasi ketidakadilan di masyarakat lokal ataupun dunia secara umum ketimbang teman-teman sebayanya (Silverman, 1994). Meski demikian, perkembangan kognitif tidak menjamin perkembangan moral. Terkadang siswa berpikir abstrak mengenai materi akademis dan pada saat yang sama bernalar secara prakonvensional, yang berpusat pada diri sendiri (Kohlberg, 1976 : Silverman, 1994).
2.      Penggunaan Ratio dan Rationale
Sebagai seorang pendidik dan orangtua harus memberikan induksi kepada anak-anak ketika mereka memikirkan kerugian fisik dan emosional yang ditimbulkan perilaku-perilaku tertentu terhadap orang lain. Induksi adalah penjelasan mengenai mengapa perilaku tertentu tidak dapat diterima , seringkali dengan fokus pertimbangan pada rasa sakit atau kesuasahan yang ditimbulkan oleh perilaku itu terhadap orang lain (M.L. Hoffman, 1970, 1975). Penggunaan induksi secara konsisten pada anak-anak misalnya menegaskan bahwa mereka harus minta maaf pada perilaku yang keliru , dapat mendorong kepatuhan terhadap peraturan dan meningkatkan perkembangan empati, bela rasa , dan altruisme (Nucci, 2001).
3.      Isu dan dilema moral
Kohlberg menyatakan bahwa anak-anak berkembang secara moral ketika mereka  menghadapi suatu dilema moral yang tidak dapat ditangani secara memadai dengan menggunakan tingkat penalaran moralnya saat itu. Dalam upaya membantu anak-anak menghadapi dilema semacam itu, kohlberg menyarankan agar guru menawarkan penalaran moral satu tahap diatas tahap yang dimiliki anak pada saat itu. Penalaran moral anak-anak tidak semata-mata dihasilkan oleh pewarisan nilai dan ajaran moral yang dilakukan oleh orang dewasa ( doman, 1988 : Higgins, 1995 : Turiel, 1998), Melainkan muncul dari kepercayaan-kepercayaan yang dikonstruksi secara personal oleh anak itu sendiri, kepercayaan-kepercayaan yang seringkali ditinjau ulang, direvisi, dan akhirnya diperbaiki oleh mereka seiring waktu.

4.      Perasaan diri
Anak-anak muda mulai mengintegrasikan komitmen terhadap nilai-nilai moral ke dalam indentitas  mereka secara keseluruhan ( Nucci, 2001 ). Mereka menganggap diri mereka sebagai pribadi yang penuh perhatian , yang peduli pada hak-hak dan kebaikan orang lain. Dalam sebuah penelitian ( D. Hart & Fregley , 1995) bahwa para remaja tidak selalu menampilkan penalaran moral yang lebih maju dibandingkan dengan teman-teman sebaya mereka , tetapi mereka lebih sering menggambarkan diri mereka dalam kerangka trait dan tujuan moral (sepeti menolong orang lain) dan menyebutkan ideal-ideal tertentu yang menjadi arah usaha dan kerja keras mereka.

d.                   Pendidikan Moral   
1.      Kurikulum tersembunyi
            Adalah Konsep Dewey (1933)  bahwa setiap sekolah punya atmosfer moral tersendiri meski sekolah itu tidak memberikan pelajaran tentang pendidikan moral. Suasana atau atmosfer moral ini diciptakan oleh aturan sekolah dan aturan kelas, orientasi moral dari guru dan administrator sekolah, dan teks materi pelajaran. Guru bertindak sebagai model perilaku etis dan tak etis. Aturan kelas dan hubungan teman sebaya disekolah berfungsi sebagai alat penyebar sikap terhadap penipuan, bohong, pencurian, dan sebagainya. Melalui aturan dan regulasi , administrasi sekolah memasukkan sistem nilai ke sekolah.
2.      Pendidikan Karakter
            Adalah pendekatan langsung untuk pendidikan moral dengan memberi pelajaran kepada murid tentang pengetahuan moral dasar untuk mencegah mereka melakukan perilaku tidak bermoral atau membahayakan diri sendiri dan orang lain. Bahwa perilaku seperti berbohong, mencuri dan menipu adalah keliru dan murid harus diajari soal ini melalui pendidikan mereka (Nucci, 2001). Menurut pendekatan pendidikan karakter , setiap sekolah harus punya aturan moral yang jelas yang dikomunikasikan dengan jelas kepada murid, setiap pelanggaran aturan harus dikenai sanksi ( Bennet, 1993).



3.      Klarifikasi nilai
            Adalah pendekatan untuk pendidikan moral yang menekankan pada upaya membantu orang untuk mengklarifikasi untuk apa hidup mereka dan apa yang layak untuk dikerjakan dalam hidup ini, murid didorong untuk mendefinisikan sendiri nilai mereka dan memahami nilai diri orang lain.
            Contohnya , murid diminta untuk memilih emam dari sepuluh orang yang akan dimasukkan ke tempat berlindung karena perang dunia ketiga telah dimulai (Johnson, 1990). Dan orang-orang yang harus mereka pilih antara lain pria penjual buku berusia 30 tahun, istri penjual buku yang hamil 6 bulan, Mahasiswa kedokteran yang merupakan aktivis politik, pria berumur 42 tahun yang dikenal sebagai penulis sejarah, Aktris hollywood yang terkenal sebagai penyanyi, perempuan ahli biokomia, Seorang Rabbi pria berusia 54 tahun, Atlet olimpiade pria yang bagus dalam semua cabang, Mahasiswi perguruan tinggi, dan polisi yang punya pistol.   
            Dalam tipe ini, tak ada jawaban yang benar dan salah, semua ditentukan oleh murid atau pendekatan ini bebas nilai. Namun sebagian orang mengatakan bahwa klarifikasi nilai melemahkan nilai yang diterima dan tidak bisa menekankan pada perilaku yang benar.
4.      Pendidikan moral kognitif
            Adalah pendekatan pendidikan moral yang didasarkan pada keyakinan bahwa murid harus mempelajari hal-hal seperti demokrasi, dan keadilan  saat moral mereka sedang berkembang. Menurut Kohlberg (1986) pada suatu waktu murid harus dikumpulkan untuk mendiskusikan sejumlah isu moral, pengajar bertindak sebagai fasilitator, bukan pengatur kelas. Harapnnya adalah agar murid dapat mengembangkan gagasan yang lebih maju seperti konsep kerjasama, kepercayaan, tanggungjawab, dan komunitas.  Dan dalam upaya menolong para siswa menyelesaikan konflik-konflik dengan teman sebayanya, pendidik dapat mendorong siswa untuk mengkaji situasi-situasi dari sudut pandang teman-temannya dan bekerja secara kooperatif ke arah solusi yang adil.
5.      Melibatkan siswa untuk aktif dalam pelayanan masyarakat
            Siswa lebih cenderung setia dan taat terhadap prinsip-prinsip moral yang kuat ketika mereka memiliki efikasi diri yang tinggi untuk menolong orang lain dan ketika mereka telah mengintegrasikan suatu komitmen terhadap ideal-ideal moral terhadap perasaan identitasnya (sense of identity) secara keseluruhan. Tentu saja , presepsi diri semacam itu tidak muncul begitu saja. Anak-anak lebih cenderung memiliki efikasi diri yang tinggi untuk melakukan aktivitas-aktivitas prososial bila mereka mendapatkan bimbingan dan dukungan yang mereka perlukan demi keberhasilan-keberhasilan itu. Mereka juga cenderung mengintegrasikan nilai-nilai moral ke dalam perasaan diri (sense of self) mereka secara keseluruhan bila mereka terlibat secara aktif dalam pelayanan kepada orang lain bahkan sebelum mereka memasuki masa pubertas (Nucci, 2001 : Younnis & yates, 1999). Melalui aktivitas pelayanan masyarakat yang berkelanjutan disebut service learning, yakni aktivitas yang mendorong pembelajaran dan perkembangan dengan berkontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup sesama dan masyarakat. Para siswa belajar bahwa mereka memiliki keterampilan dan tanggung jawab memvantu orang-orang yang kurang beruntung dibandingkan diri mereka, dan begitu ikutserta menjadikan dunia tempat yang lebih baik untuk hidup. Dalam prosesnya, mereka juga mulai membayangkan diri mereka sebagai warga negara yang peduli, berbela rasa, dan bermoral (Younnis & Yates, 1999).

Daftar  Pustaka :

Santrock, John W. 2007. Psikologi Pendidikan edisi kedua.  Jakarta : Kencana
Ormrod, Jeanne Ellis. 2008. Psikologi Pendidikan Jilid 1 edisi keenam. Jakarta : Erlangga
Santrock, John W. 2001. Life-Span Development Jilid 1 edisi kelima. Jakarta : Erlangga
Santrock, John W. 2001. Life-Span Development Jilid 2 edisi kelima. Jakarta : Erlangga
Wade, Carol & Carol Tavris. 2007. Psikologi edisi kesembilan. Jakarta : Erlangga       
Shobur, Alex. 2003. Psikologi Umum. Jakarta : Pustaka Setia
Ratna Yudhawati & Dany Haryanto. 2001. Teori – teori Dasar Psikologi Pendidikan. Jakarta : Prestasi Pustaka
Nursalim, dkk . Psikologi Pendidikan. Surabaya : Unesa Press
Alwisol. 2007. Psikologi Kepribadian. Malang : UMM press
 



Pemberian Hukuman Edukatif pada Anak Sekolah Dasar



            Sekolah Dasar merupakan tahapan paling penting bagi anak karena di sekolah dasar inilah mereka mendefinisikan diri sebagai siswa (Carnegie Corporation of Newyork, 1996).
            Berdasarkan kemampuan kognitifnya, anak sekolah dasar memasuki tahap operasional konkret. Anak-anak masih belum berpikir seperti orang dewasa. Pada tahap ini mereka dapat membentuk konsep , melihat hubungan, dan memecahkan masalah, tetapi hanya sejauh mereka melibatkan objek dan situasi yang sudah dikenal. Anak-anak sekolah dasar juga beralih dari pemikiran egosentris ke pemikiran yang tidak terpusat atau objektif. Pemikiran tidak terpusat memungkinkan anak-anak melihat bahwa orang lain dapat mempunyai presepsi yang berbeda dari mereka. Misalnya anak-anak yang mempunyai pemikiran tidak terpusat akan mampu memahami bahwa anak yang berbeda mungkin saja melihat pola yang berbeda dalam “awan”. Anak-anak yang proses pemikirannya tidak terpusat mampu belajar peristiwa-peristiwa yang mungkin saja diatur oleh hukum-hukum fisika, seperti hukum gravitasi. Selain memasuki tahap operasional konkret anak-anak sekolah dasar dengan pesat mengembangkan kemampuan daya ingat dan kognitif, termasuk kemampuan meta-kognitif yaitu kemampuan memikirkan pemikiran mereka sendiri dan mempelajari bagaimana belajar (Robert E. Slavin ; 2008 ; 106).
            Dilihat dari perkembangan sosioemosional, bahwa seorang anak telah mengembangkan kepercayaan selama bayi, otonomi selama usia-usia awal, dan inisiatif selama masa-masa prasekolah, pengalaman anak itu di sekolah dasar dapat mengambil andil bagi rasa kerajinan dan pencapaiannnya ( Erikson ; 1963). Anak-anak mulai mencoba membuktikan bahwa mereka “tumbuh dewasa”, hal ini sering digambarkan sebagai tahap saya – dapat – melakukannya – sendiri. Selain itu, Konsep diri dan harga diri merupakan bidang perkembangan pribadi dan sosial yang penting bagi anak sekolah dasar. Konsep diri merupakan persepsi seseorang tentang kekuatan, kelemahan, kemampuan , sikap, dan nilainya sendiri. Harga diri merujuk pada nilai yang kita berikan masing-masing pada karakteristik, kemampuan , dan perilaku kita sendiri. Pada masa sekolah dasar, anak-anak mulai terfokus pada sifat-sifat yang lebih abstrak dan internal seperti kecerdasan dan kebaikan hati pada saat menggambarkan diri sendiri. Mereka juga mulai mengevaluasi diri lewat perbandingan dengan anak-anak lain. Anak-anak yang lebih muda menggunakan perbandingan sosial terutama untuk belajar tentang norma-norma sosial dan kelayakan jenis-jenis perilaku tertentu (Ruble , Eisenberg , dan Higgins ; 1994). Ketika usia anak semakin bertambah , mereka juga cenderung menggunakan perbandingan sosial untuk mengevaluasi dan menilai kemampuan mereka sendiri (Borg ; 1998). Sebenarnya  Kata kunci tentang perkembangan pribadi dan sosial ialah penerimaan. Faktanya ialah bahwa anak-anak benar-benar berbeda-beda dalam kemampuan mereka dan tidak peduli apapun yang dilakukan guru, siswa akan memikirkan pada masa akhir sekolah dasar siapa yang lebih mampu dan siapa yang kurang mampu.   
            Sehingga perilaku anak sekolah dasar yang cenderung aktif dan nakal tersebut seperti suka bercerita, mencoba sesuatu yang baru, lebih suka bermain dengan teman sebaya dari pada belajar, suka beradu gengsi dengan teman-temannya , merasa “bisa” sendiri dalam segala hal dan moody, membuat orangtua atau guru sering jengkel kepada ulah mereka tersebut. Orangtua dan gurupun sering memberi hukuman pada mereka.
            Menurut teori perkembangan behavior B.F. Skinner , hukuman merupakan bagian dari pengkondisian operan. Pengkondisian operan merupakan penggunaan konsekuensi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan untuk mengendalikan terjadinya perilaku (Robert E. Slavin ; 2008 ; 183). Konsekuensi ialah kondisi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan yang terjadi sesudah perilaku dan memengaruhi frekuensi perilaku pada masa mendatang. Konsekuensi yang menyenangkan biasa disebut dengan tindakan penguatan. Sedangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut dengan tindakan penghukuman (punisher). Tindakan penghukuman dalam lingkungan membentuk karakter atau sifat setiap  anak ( John W. Santrock ; 2001 ; 45 ). Apabila konsekuensi yang kelihatannya tidak menyenangkan tidak mengurangi frekuensi perilaku yang diikutinya, hal itu tidak selalu merupakan tindakan penghukuman, misalnya beberapa siswa senang disuruh ke luar kelas atau  ke aula, karena hal itu membebaskan mereka dari ruang kelas, yang mereka lihat sebagai situasi yang menyenangkan ( Dirscoll, 2000; Kauffman et al , 2002; martella et al , 2003 ). Menurut Skinner hukuman dapat mempunyai dua bentuk utama , antara lain :
1.      Hukuman pemberlakuan, ialah rangsangan yang tidak disukai (averse stimuli) yang mengikuti perilaku tertentu, yang digunakan untuk memperkecil kemungkinan bahwa perilaku tersebut akan terjadi lagi. Rangsangan yang tidak disukai merupakan konsekuensi yang tidak menyenangkan yang coba dihindari seseorang. Seperti  ketika seorang siswa diomeli.
2.      Hukuman pencabutan, ialah penatikan kembali konsekuensi yang menyenangkan yang memperkuat perilaku tertentu yang dirangcang untuk memperkecil kemungkinan bahwa perilaku itu akan terulang. Salah satu bentuk hukuman pencabutan yang sering digunakan di ruang kelas ialah penyingkiran. Penyingkiran adalah prosedur memindahkan siswa dari suatu situasi dimana perilaku yang tidak pantas dikuatkan (Nelson & Carr, 2000) , misalnya siswa yang berperilaku tidak pantas diminta duduk di sudut depan kelas selama pelajaran berlangsung. Guru sering menggunakan penyingkiran ketika mereka percaya bahwa perhatian siswa-siswa lain berperan memperkuat perilaku yang tidak pantas , penyingkiran menghilangkan dari pelakunya tindakan penguatan ini. Penggunaan penyingkiran sebagai konsekuensi atas perilaku yang tidak pantas pada umumnya telah ditemukan mengurangi perilaku yang tidak pantas ( Costenbader & Reading-Brown, 1995).

Ahli teori behavior mendukung penggunaan hukuman seharusnya ditempuh hanya ketika penguatan untuk perilaku yang tepat telah dicoba dan tidak berhasil. Ketika hukuman diperlukan, hal itu seharusnya diberikan dalam bentuk yang seringan mungkin. Hukuman fisik di sekolah (seperti pukulan) bertentangan dengan hukum dikebanyakan tempat (Evans & Richardson , 1995) dan ditentang secara universal oleh ahli teori behavior dengan alasan etis dan ilmiah ( Kazdin , 2001 ; Malott et al ., 2000)        
            Tetapi di kalangan masyarakat pada umumnya, menganggap Hukuman sebagai penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang (orang tua dan guru) setelah terjadi suatu pelanggaran dan kesalahan (M. Ngalim Purwanto ; 2006 ; 186). Tetapi hukuman dalam dunia pendidikan bukanlah suatu sisksaan, melainkan suatu usaha untuk mengembalikan anak ke arah yang lebih baik serta memotivasi mereka agar menjadi pribadi yang imajinatif, kreatif, dan produktif (Yanuar A. ; 2012 ; 18).
            Dalam konteks pendidikan, tujuan pemberian hukuman dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Adapun tujuan jangka  pendek  adalah untuk menghentikan tingkah laku yang salah, sedangkan tujuan jangka panjang tak lain adalah untuk mengajar dan mendorong anak agar dapat menghentikan sendiri tingkah lakunya yang salah. Tujuan dan motif orang tua dan guru memberikan hukuman kepada anak bermacam-macam. Hal tersebut dikaitkan  dengan teori-teori hukuman yang telah banyak dikemukaan oleh pakar pendidikan (Yanuar A. ; 2012 ; 59). Tujuan hukuman antara lain :
a.       Berdasarkan teori pembalasan, hukuman diadakan sebagai pembalasan dendam terhadap kesalahan yang telah dilakukan oleh seseorang. Dalam konteks pendidikan , teori ini biasanya diterapkan karena si anak pernah mengecawakan, misalnya si anak pernah mengejek atau menjatuhkan  harga diri guru di sekolah atau pandangan masyarakat. Hukuman yang dilandasi dengan tujuan pembalasan adalah hukuman yang paling jahat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam dunia pendidikan.
b.      Berdasarkan teori perbaikan, hukuman diberikan untuk memperbaiki anak yang berbuat salah dengan harapan agar selanjutnya ia tidak melakukan kesalahan lagi atau sadar atas kesalahannya.
c.       Berdasarkan teori ganti rugi, hukuman diadakan untuk mengganti kerugian-kerugian yang telah diderita akibat pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan. Contoh seorang guru bisa menghukum siswa yang merusak mainan temannya dengan mengganti mainan yang telah ia rusakkan.
d.      Berdasarkan teori menakut-nakuti, hukuman diberikan untuk menimbulkan perasaan takut kepada si pelanggarakan akibat pelanggaran atau kesalahan yang telah dilakukannya sehingga ia menjadi takut untuk mengulangi perbuatannya dan mau meninggalkannya.

Setiap orang tua atau guru memiliki tujuan yang berbeda-beda dalam memberikan hukuman pada anak-anak. Caranya pun juga berbeda ada yang memberikan hukuman yang bersifat negatif maupun positif , yang masing-masing memberikan dampak tertentu pada perkembangan anak.  Hukuman yang bersifat negatif antara lain :

1.      Menggunakan kekerasan, seperti pukulan , cubitan, cambukan, dan lainnya. Anak yang mandapatkan hukuman keras lebih cenderung untuk berbohong dibandingkan anak yang jarang mendapatkan hukuman keras (Victoria Talwar dan Kang Lee ; 2011). Anak pun mulai menganggap bahwa sikap kasar yang yang ia peroleh adalah sikap yang benar dan  boleh ditiru. Dan dalam situasi dimana anak-anak sering dihukum berat, mereka akan belajar untuk menghindari hukuman tersebut dengan cara apapun. Selain itu hukuman fisik akan membuat IQ anak menjadi rendah , hal tersebut berdasarkan penelitian Murray Straus dari Univesity of New Hampshire.
2.      Marah besar, hal tersebut dapat memberikan trauma yang mendalam pada anak-anak dan akan terbawa sampai mereka dewasa. Dampak tersebut muncul karena Orang tua atau guru tidak pernah bisa menoleransi barbagai kesalahan yang dibuat oleh anak. Padahal sangat mugkin, apabila kesalahan-kesalahan tersebut dilakukan karena kurang perhatiannya orang tua ataupun guru kepada anak atau kurangnya pemahaman anak tentang sikap dan perilaku baik yang seharusnya ia lakukan (Yanuar A. ; 2012 ; 73).
3.      Berkata buruk, misalnya perkataan setan kamu, kurang ajar, bodoh, nakal , dan lainnya. Perkataan-perkataan itu akan melukai perasaan anak, bahkan bisa menghilangkan kepercayaan diri mereka, semakin membuat mereka jauh dari orang tua maupun guru, serta tidak tertarik untuk mengikuti pelajaran maupun nasihat dari orang tua atau guru. Lebih jauh lagi mereka akan meniru perkataan buruk tersebut dan melontarkannya kepada teman-teman ataupun saudaranya.

Selain hal-hal diatas, hukuman negatif meyebabkan anak menjadi kehilangan perasaan bersalah. Tak jarang, setelah orang tua atau guru memberikan hukuman, seorang anak merasa bahwa dirinya tidak lagi memiliki perasaan bersalah. Saat anak tidak memiliki perasaan bersalah, seringkali ia akan mengulangi kesalahannya lagi karena sudah terbiasa atau setidaknya akan menggampangkan hukuman yang telah diberikan kepadanya. Maka dari itu, setelah memberikan hukuman pada anak hendaknya orang tua atau guru benar-benar memastikan bahwa anak sudah memiliki kesadaran penuh jika tindakannya tersebut salah dan tidak baik untuk dilakukan lagi di masa depan.
Hukuman buruk juga akan memancing balasan oleh anak. Sering dijumpai anak setelah menerima hukuman , memendam rasa benci di hatinya atas hukuman yang diberikan kepadanya. Sehingga di kemudian hari ia akan berusaha membalas pemberi hukuman. Rasa benci itu sendiri muncul karena jenis hukuman yang diberikan kepadanya tidak tepat.

Berikut ini beberapa contoh kasus pemberian hukuman keras atau fisik pada anak yang akhir-akhir ini terjadi di masyarakat antara lain :

“Kevin , Siswa salah satu sekolah di Pondidaha, Konawe, Sulawesi tenggara yang mulai memperlihatkan perilaku aneh akhirnya dirawat di RSJ. Orang tua korban menilai kondisi anaknya itu akibat pemukulan yang dilakukan oleh enam temannya dan dua gurunya. Seorang guru mengaku hanya menampar kevin dengan buku tipis karena kevin mencoret-coret bukunya dengan gambar yang tidak senonoh dan kevin malah ketawa ketika guru tersebut mengingatkannya. Sedangkan pemukulan oleh enam temannya memang pernah terjadi tetapi tidak diungkap alasannya. Wakil kepala sekolah Bidang Kesiswaan Marthin Taolo Runi hanya mengatakan sudah menyelesaikan perkelahian tersebut secara kekeluargaan dan menurutnya mereka sudah saling memaafkan. ( Jawa Pos ; 4 April 2013 ; 14).”
Hal tersebut membuktikan , bahwa kekerasan pada anak menimbulkan depresi yang sangat mendalam sampai anak tersebut mengalami gangguan kejiwaan.

“Tuban- Praktik hukuman fisik masih saja menghiasi dunia pendidikan di Tuban. Misalnya, yang dialami Michael Eka Juanda, 13. Kemarin, dia terpaksa tidak berangkat sekolah gara-gara kaki kirinyabengkak lantaran terkilir setelah diikat di dalam kelas. Dia menceritakan, saat di sekolah (9/3) sekitar pukul 10.00, dirinya hendak menuju ke kamar kecil. Karena dua kakinya diikat rafia, dirinya berjalan pincang. “saya pun jatuh dan sakit”, ujarnya. Micahel pun menjelaskan, kakinya diikat senin (4/3) gara-gara, ada sejumlah siswa yang sering pindah-pindah tempat. Karena itu, wali kelas memerintahkan untuk mengikat salah satu kaki  mereka di meja dengan menggunakan tali rafia. Hal tersebut berlangsung selama tiga hari. Maria Magdalena, wali kelasnya mengakui hal itu “Tiga hari pertama kami perintahkan untuk diikat di meja dan selanjutnya kedua kaki diikat.” Tegasnya. Alasanyapun sama dengan yang diceritakann oleh Michael ( Jawa Pos ; 12 Maret 2013 ; 10).
Kasus diatas, menggambarkan bahwa seorang guru memberikan hukuman tanpa memikirkan akibatnya dan tidak bersikap dewasa sebagaimana mestinya. Hukuman yang ia berikan dapat menimbulkan ketakutan tersendiri di hati siswa sehingga ia akan cenderung tidak mengembangkan kemampuannya tapi malah menarik diri. Karena mereka takut setiap hal yang mereka lakukan “takut salah dihadapan orang yang lebih dewasa”.

“Mojokerto – sidang dugaan penganiayaan guru kepada siswa SDN Sumberjati 2, Kecamatan Mojoanyar di Pengadilan Negeri Mojokerto dipenuhi ratusan guru. Terdakwa Sutiyo guru kelas VI tersebut dilaporkan oleh muridnya sendiri Teguh Muji Wicaksono karena kasus penganiayaan. Dugaan penganiayaan tersebut terjadi di sekolah, saat itu terdakwa sedang mengajar (pukul 07.00 hingga 09.00). Dia meminta salah seorang siswa kedepan. Namun, siswa tersebut mengenakan sepatu hanya sebelah. Terdakwa lantas mendatangi korban dengan menarik kedua cambangnya (Jawa Pos ; 8 Maret 2013 ; 16).
Kejadian diatas, merupakan akibat dari hukuman yang tidak tepat yang diberikan oleh guru. Anak mungkin merasa sakit hati ketika guru tersebut menghukumnya di depan teman-temannya. Sehingga ia membalas perbuatan gurunya tersebut dengan melaporkannya ke pihak yang berwajib.
Para pakar pendidikan anak pun melarang keras pemberian hukuman fisik kepada anak. Hukuman fisik haruslah menjadi solusi terakhir saat tidak memiliki gambaran lain untuk menghukum anak ( Yanuar A. ; 2012 ; 93).
Dalam memberikan hukuman pada anak , orang tua atau guru dapat melakukan beberapa pendekatan untuk membantu mendisiplinkan anak, antara lain :
a.       Bersikap tegas
Dengan bertindak tegas dalam menyampaikan alasan-alasan yang dilandasi pemikiran rasional, seorang anak pun pasti akan segan untuk sekadar membantah dan menolak larangan orang tua atau guru. Dengan sikap tegas ini pula, orang tua atau guru akan mendapatkan sikap respek dari anak.
b.      Tidak plinplan
Pada dasarnya, anak akan meniru apa yang orang dewasa lakukan. Begitu pun jika orang tua atau guru bersikap plinplan terhadap suatu keputusan. Misalnya, seorang ibu tidak setuju si anak melompat-lompat di tempat tidur, sementara sang ayah membiarkannya. Hal ini tentu akan membuat anak bingung, akibatnya ia mengabaikan larangan sang ibu.
c.       Kompromi
Anak-anak tak selalu bisa mengatasi dan membedakan antara persoalan yang besar dan kecil. Dengan tindakan kompromi yang dilakukan orang tua atau guru menjadi semakin mudah menghadapi persoalan yang lebih besar nantinya, jika orang tua atau guru keberatan dengan perilaku anak, mereka harus menyatakan dengan jelas namun tetap menggunakan bahasa yang halus. Misalnya dengan mengatakan, “kurangilah suara televisinya, Nak !” dan tidak mengatakan, “ hai, televisinya jangan keras-keras ! “.
d.      Selalu tenang
Marah sambil berteriak, membentak atau menceramahi anak tanpa henti merupakan tindakan kekerasan verbal terhadap anak. Jika orang tua atau guru melakukan tindakan seperti itu kepada anak yang berbuat salah, maka hal tersebut justru bisa merusak harga diri anak. Akibatnya anak menjadi tidak memiliki rasa percaya diri dihadapan orang tua atau guru. Bahkan anak bisa takut manakala melihat orang tua atau guru, dan bukannya segan.

e.       Mengambil posisi yang tepat
Menunduk saat berbicara pada anak atau mengambil posisi duduk dihadapannya sehingga pandangan mata orang tua atau guru sejajar dengan anak. Dengan sikap seperti itu, orang tua atau guru tidak perlu merasa khawatir akan kehilangan respek dari anak. Justru sebaliknya, anak akan semakin menghormati dan menghargai orang tua atau guru.
f.       Tidak melakukan penyuapan
Apabila membiasakan memberi uang atau hadiah kepada anak, dengan persyaratan ia tidak melakukan kesalahan atau bmelanggar peraturan yang telah disepakati bersama. Kebiasaan seperti itu bisa membuat anak tidak tulus dalam melakukan sesuatu. Anak mau mematuhi peraturan apabila ada imbalannya. Tentu saja, hal ini bukanlah tindakan yang mendidik melainkan justru mengajarkan praktik penyuapan pada anak.
g.      Menghadapi rengekan
Merengek adalah senjata andalan anak ketika ia meminta sesuatu kepada orang dewasa. Namun orang tua atau guru tidak selalu menuruti rengekannya. Orang tua atau guru harus mengatakan tudak manja atau merengek kepada anak. Dan menegaskan pula bahwa orang tua atau guru tidak akan menuruti kemauannya apabila disampaikan dengan merengek. Hal ini bermanfaat bagi psikologi anak untuk tidak berjiwa lemah.
h.      Memberikan contoh yang baik
Anak tidak selalu diajarkan sesuatu melalui komunikasi, karena cukup dengan melihat saja, anak sudah belajar dan  merekamnya di otak. Karena itu, orang tua atau guru harus memberikan contoh yang baik pada anak, termasuk ketika memberikan hukuman pada anak. Misalnya ketika orang tua melarang anak untuk tidak bertengkar dengan temannya, sementara orang tuanya sendiri bertengkar. Anak akan merekam segala sesuatu yang ia lihat di memori bawah sadarnya. Dan itu, akan mempengaruhinya kelak ketika telah dewasa.
Dalam memberikan hukuman pada anak , orang tua atau guru tidak sekadar menentukan jenis hukuman pada anak. Lebih dari itu, metode atau cara memberikan hukuman juga perlu diperhatikan sehingga, anak-anak bisa memahami dengan baik makna hukuman yang diberikan kepada mereka.
Dengan menggunakan pendekatan-pendekatan tersebut, pemberian hukuman pun lebih ditekankan pada sisi edukatif guna membentuk pribadi anak yang selalu bertanggung jawab atas perbuatannya. Jadi hukuman bukan semata sebagai ajang pelampiasan amarah orang tua atau guru untuk menyakiti anak ataupun untuk menunjukkan kedewasaan orang tua atau guru sebagai orang yang lebih dewasa. Adapun jenis-jenis hukuman edukatif yang oleh pakar pendidikan dinilai sebagai cara pendidikan yang efektif dan baik (Yanuar A. ; 2012 ; 111), antara lain :
a.       Memperlihatkan wajah masam kepada anak
Bagi anak, wajah yang masam dari orang tua atau guru sejatinya adalah sebuah hukuman bagi mereka. Saat anak menyadari perubahan wajah yang tejadi pada orang tuanya atau gurunya, dengan sendirinya anak akan berusaha mengoreksi diri dari kesalahan yang tidak orang tuanya atau gurunya sukai itu. Tetapi orang tua atau guru juga harus memberikan nasihat kepada anaknya.
b.      Memberikan anak tugas bersih-bersih
Sebagai orang tua atau guru tentu akan marah jika anak tidak mau menjaga kebersihan. Misalnya mencoret-coret tembok atau meja, menaruh pakaian kotor sembarangan tempat, membuang sampah sembarangan dan lain sebagainya. Apabila anak melakukan hal tersebut, orang tua dapat memberikan tugas bersih-bersih pada anak. Dengan hukuman semacam itu, secara tidak langsung telah mengajari anak untuk bersikap tanggung jawab, dimana ia harus menjaga kebersihannya sendiri dan lingkungannya.
c.       Menyuruh anak untuk meminta maaf kepada orang yang bersangkutan
Meminta maaf adalah alternatif hukuman yang mendidik. Dengan menyuruh anak untuk meminta maaf kepada teman yang telah ia salahi, orang tua atau guru sejatinya tengah mengajari anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.
d.      Menyuruh anak untuk belajar
Orang tua tak hanya menyuruh anak untuk belajar, tetapi seharusnya orang tua memotivasi dan membantu anak untuk belajar. Diantaranya yaitu terlibat dalam kegiatan anak, membantu anak merancang strategi untuk memecahkan masalahnya, membacakan dongeng anak untuk merangsang minat baca anak, merayakan setiap keberhasilan anak, dan tentunya menemani anak bermain.
e.       Menyuruh anak membantu pekerjaan orang tua atau guru
Membantu pekerjaan di sini tentu bukan dalam artian mengajak anak untuk bekerja selayaknya orang tua melakukan pekerjaannya. Namun membantu pekerjaan di sini maksudnya meminta anak untuk membantu hal-hal yang biasa dikerjakan oleh orang tua di rumah dan sekiranya anak mampu untuk melakukannya, seperti mencuci motor atau mobil, membuang sampah, membersihkan kebun atau taman, membantu memasak dan sebagainya. Dengan menyuruh anak tersebut, orang tua sejatinya tengah mengajari anak tentang kepatuhan kepada orang tua, tanggungjawab terhadap diri sendiri dan keluarga, serta pentingnya kerja sama.
f.       Menyuruh anak membaca buku dan menulis
Menumbuhkan minat baca pada anak memang sulit, maka harus diperlukan ketelatenan dan cara tepat yang dapat merangsang minat anak. Beberapa caranya antara lain  :
1.      Membiarkan anak untuk memilih, ketika orang tua atau guru mengajak anak ke toko buku atau perpustakaan, orang tua atau guru membebaskan anak untuk memilih buku apa yang mereka beli atau baca, asalkan itu sesuai umur mereka.
2.      Mengetahui kemampuan membaca anak, dengan mengetahui jenis-jenis buku apa yang sering dibaca anak , orang tua dapat menfasilitasi minat anak tersebut. Sehingga anak dapat mengembangkan kemampuan membaca, bernalar, dan imajinasi mereka.
3.      Mengajukan pertanyaan
Tak hanya menfasilitasi saja, tetapi orang tua atau guru harus memberikan pertanyaan kepada anak tentang isi buku yang mereka baca. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan anak untuk memahami suatu isi buku.
Sedangkan menumbuhkan minat menulis pada anak, orang tua dapat membiasakan anak untuk menulis pengalaman-pengalaman setiap harinya di dalam sebuah buku diary.
g.      Menyuruh anak untuk bilang sayang kepada “ayah atau ibunya”
Mungkin pernyataan “ aku sayang ayah dan ibu” merupakan hal yang sepele tetapi pernyataan seperti itu sejatinya menghasilkan energi positif bagi anak. Pernyataan tersebut mendidik anak agar tidak mengecewakan orang tua dan justru anak akan merasa orangtuanya sangat memperhatiukannya dan menyayanginya.



Dengan mengetahui dampak dari setiap hukuman, sejatinya orang tua dapat menentukan jenis hukuman apa yang cocok untuk anak mereka sesuai dengan usia dan karakteristik masing-masing anak. Serta pemberian hukuman tersebut sangat menunjang perkembangan mereka, bukan malah merusak masa depan anak karena tingkat sekolah dasar merupakan tahap yang paling penting dan dasar dari setiap presepsi dan kepribadian anak ke depannya.




























DAFTAR PUSTAKA

Santrock, John W. 2001. Life-Span Development Jilid 1 edisi kelima. Jakarta : Erlangga.
Slavin, Robert E. 2008. Psikologi Pendidikan Jilid 1 Edisi keenam. Jakarta : Erlangga .
Purwanto, M. Ngalim. 2006. Ilmu pendidikan teoretis dan Praktis. Bandung : Remaja Rosdakarya.
A.Yanuar. 2012. Jenis-jenis hukuman edukatif untuk anak SD. Jogjakarta : Diva Press.
Koran Jawa Pos Indonesia.
Vivanews.com.